hidup sekali hiduplah yang berarti,event the best can be improved, the best never last
Tampilkan postingan dengan label artikel insan cita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel insan cita. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Mei 2010

Multi-kulturalisme; Basis Kewargaan

Keragaman, atau kebhinnekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan di waktu-waktu mendatang. Multi-kulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negarapun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal.
Tetapi, penting dicatat, keragaman itu hendaklah tidak diinterpretasikan secara tunggal. Dan, lebih jauh, komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat-masyarakat dan negara-bangsa tidaklah berarti ketercerabutan, relativisme kultural, disrupsi sosial atau konflik berkepanjangan pada setiap komunitas, masyarakat dan kelompok etnis dan rasial. Sebab, pada saat yang sama sesungguhnya juga terdapat berbagai simbol, nilai, struktur dan lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat berbagai keragaman tadi.
Semuanya ini, dan lebih khusus lagi, lembaga-lembaga, struktur-struktur, dan bahkan pola tingkah laku (patterns of behavior) memiliki fokus tertentu terhadap kolaborasi, kerjasama, mediasi dan negosiasi untuk menyelesaikan berbagai perbedaan. Dengan demikian, mereka potensial untuk menyelesaikan konflik yang dapat muncul dan berkembang sewaktu-waktu. Semua simbol, nilai, struktur dan lembaga tersebut juga sangat menekankan kehidupan bersama, saling mendukung dan menghormati satu sama lain dalam berbagai hak dan kewajiban personal maupun komunal, dan lebih jauh lagi masyarakat nasional.
Pada tahap ini, komitmen terhadap nilai-nilai tidak dapat dipandang berkaitan hanya dengan eksklusivisme personal dan sosial, atau dengan superioritas kultural, tetapi lebih jauh lagi dengan kemanusiaan (humanness). Semua ini juga mencakup komitmen dan kohesi kemanusiaan melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan komunal. Manusia, ketika berhadapan dengan berbagai simbol, doktrin, prinsip dan pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan dan sekaligus mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan—baik secara personal maupun komunal—dan kebudayaan yang dihasilkannya.
Dalam konteks ini, multi-kulturalisme dapat pula dipahami sebagai “kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multi-kulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basis) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan pendidikan.
Multi-kulturalisme sebagai landasan budaya, lebih jauh lagi, terkait erat dengan pencapaian civility (keadaban) yang sangat esensial bagi demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis (democratic civility). Dalam upaya penumbuhan dan pengembangan democratic civility,  maka civil society (CS) dan pendidikan menduduki peran sangat instrumental.
Terdapat persepsi dalam masyarakat untuk secara taken for granted menerima bahwa CS selalu mendorong keadaban dan demokrasi. Padahal, terdapat kecenderungan, bahwa CS terorganisasi berdasarkan distingsi sosial, budaya, etnis, dan agama—sehingga cenderung eksklusif dan merasa paling benar sendiri; akibatnya dapat kontra-produktif tidak hanya terhadap multi-kulturalisme, tetapi juga bahkan terhadap demokrasi. Karena itu, dalam hal CS seperti ini, perlu pengembangan sikap inklusif, toleran, dan respek terhadap pluralitas. Pada saat yang sama, juga harus dikembangkan CS yang mengatasi berbagai garis demarkasi tersebut, menjadi organisasi yang melintasi batas-batas etnis, agama dan sosial, sehingga pada gilirannya dapat menjadi “social and cultural capital” yang esensial bagi pengembangan dan pemberdayaan civilitas dan demokrasi yang berkeadaban (cf. Hefner 2001:9-10).
Dalam konteks pengembangan CS yang benar-benar merupakan “social and cultural capital” bagi keadaban dan demokrasi, pendidikan merupakan salah satu—jika tidak satu-satunya—sarana terpenting. Tidak perlu uraian panjang lebar, “social and cultural capital” sangat krusial dan instrumental bagi terwujudnya social and cultural cohesiveness dan, pada gilirannya, integrasi  negara-bangsa. Sebaliknya, negara-bangsa dan masyarakat akan mengalami disintegrasi jika tidak memiliki social and cultural capital. Dalam kerangka pengembangan social and cultural capital, diperlukan tidak hanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai nilai sosial-budaya, tetapi juga pengejawantahan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa-bernegara. Di sinilah terletak peran instrumental pendidikan.
Untuk penumbuhan dan pengembangan “social and cultural capital” melalui pendidikan, pendidikan kewargaan (civic education) menjadi sebuah keharusan. Keadaban dan demokrasi, sekali lagi, tak bisa dicapai secara trial and error atau diperlakukan secara taken for granted; sebaliknya justru harus diprogramkan secara konseptual dan komprehensif pada setiap jenjang pendidikan, dan pada setiap lembaga pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal. Melalui Civic Education dapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang demokrasi, HAM, pluralitas, dan respek dan toleransi di antara berbagai komunitas, tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban  (Azra 2002).
Secara sederhana pendidikan multi-kultural dapat didefinisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”.
Pada dasarnya pendidikan interkultural merupakan cross-cultural education yang bertujuan mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda (cf. La Belle 1994:21-27).
Pada tahap pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu agar tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain-lain.
# sikap tidak peduli (indifference)
# berdiri sendiri (separated),
# “terpadu” atau terintegrasi (integrated).
# “pembajakan” (hijacking)
            Etika [politik] yang ditawarkan Islam merupakan prinsip-prinsip etika universal; melalui substantifikasi, nilai-nilai universal Islam ini dapat diadopsi dalam kehidupan etika politik negara-bangsa Indonesia.

Etika dan Adab dalam Islam


   Sangat penting dan sentral persoalan etika, moral dan akhlaq itu terlihat dari hadits Nabi yang berbunyi: "innama bu'itstu li utammima makarim al-akhlaq", sesungguhnyalah aku diutus (oleh Allah SWT) untuk menyempurnakan akhlaq mulia.
   Pentingnya masalah etika, moral dan akhlaq dalam Islam memunculkan beberapa level wacana dan praktis. Pada level yang paling dasar adalah tradisi fiqh yang pada dasarnya adalah legal ethics, etika hukum. Secara umum, fiqh dipandang sebagai tradisi dan rumusan-rumusan lebih berkenaan dengan kewajiban moral daripada hak-hak hukum (legal rights). Atas dasar inilah sementara ahli tentang Islam menyebut ketentuan-ketentuan fiqh sebagai doktrin etika dan kewajiban.
   fiqh sebagai legal ethics merupakan konstruksi sosial terhadap syari'ah, yang cenderung hanya memberikan prinsip-prinsip dasar yang terbuka bagi penafsiran dan konstruksi baru.
Dalam adab politik bisa disebut ulama dan pemikir politik Islam (fiqh siyasah) seperti Ibn Muqaffa (w. 756 M.), Ibn Qutayba (w. 889 M.), Al-Mawardi (w. 1058 M.), Al-Ghazali (w. 1111 M.), dan Al-Qahqashani (w. 1418 M.)
Dinasti, kerajaan, dan kesultanan dengan para penguasanya yang absolut membuat masyarakat dan rakyat tidak berdaya apa-apa vis-a-vis kekuasaan. Mereka bahkan harus memberikan kontribusi dan upeti kepada penguasa untuk mendapat favor dari penguasa. Semua inilah yang kemudian disebut sosiolog Max Weber sebagai sumber dari munculnya karakter kekuasaan politik Muslim sebagai “soft state“, negara lembek, di mana seolah-olah tidak terdapat dan berlaku etika politik yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara; hasilnya adalah distorsi dalam berbagai aspek kehidupan.
Sentimen anti-Amerika yang meningkat sejak serangan negara adidaya ini ke Afghanistan untuk menangkap Usama bin Ladin—hidup atau mati—yang sampai sekarang belum berhasil, diikuti dengan serangan secara unilateral pemerintah Presiden Bush ke Iraq, sekali lagi membuat kaum mainstream moderat berada dalam posisi yang sangat awkward.
Gus Dur dalam forum menegaskan kembali keyakinannya, bahwa Islam dan kaum Muslimin tidak memerlukan negara Islam. Menurut dia Islam tidak mengenal konsep negara Islam dan—sebab itu—tidak wajib mendirikan negara Islam.
Begitu juga sebaliknya, ujung spektrum lainnya yang mengusung tema kembali kepada “Islam yang murni”—yang bukan tidak sering secara sangat harfiah—juga absen. Kedua ujung spektrum wacana Islam ini karena kontroversial, tentu saja, sekaligus divisif.

RAHASIA HIDUP ADALAH PERJUANGAN

Ada sebuah kisah yang patut menjadi renungan kita bersama bagaimana kita mensikapi hidup dan perjuangannya. Pada suatu ketika seseorang menemukan kepompong seekor kupu. Suatu hari lubang kecil muncul. Dia duduk mengamati dalam beberapa jam calon kupu-kupu itu ketika dia berjuang dengan memaksa dirinya melewati lubang kecil itu. Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi.
Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya. Dia mengambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu. Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya. Gembira hati orang tersebut karena telah melepaskan kesulitan yang diderita oleh kupu-kupu itu. Namun, kupu-kupu tadi mempunyai tubuh gembung dan kecil, sayap-sayapnya mengkerut. Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, pada suatu saat, sayap-sayap itu akan mekar dan melebar sehingga mampu menopang tubuhnya, yang mungkin akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu.
Kenyataannya, kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap yang mengkerut. Dia tidak pernah bisa terbang. Yang tidak dimengerti dari kebaikan dan ketergesaan orang tersebut adalah bahwa kepompong yang menghambat dan perjuangan yang dibutuhkan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil adalah jalan Tuhan untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya sedemikian sehingga dia akan siap terbang begitu dia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut.
Dari kisah tersebut kalau kita renungi kadang-kadang yang namanya perjuangan adalah suatu yang kita perlukan dalam hidup kita. Jika Tuhan membiarkan kita hidup tanpa hambatan dan perjuangan, itu mungkin justru akan melumpuhkan kita. Kita mungkin tidak sekuat yang semestinya yang dibutuhkan untuk menopang cita-cita dan harapan yang kita mintakan. Kita mungkin tidak akan pernah dapat “Terbang“. Sesungguhnya Tuhan itu Maha Pengasih dan maha Penyayang.
Ada ungkapan bijak lainnya dari pujangga terdahulu              
Kita memohon Kekuatan…
Dan Tuhan memberi kita kesulitan-kesulitan untuk membuat kita tegar.
Kita memohon kebijakan…
Dan Tuhan memberi kita berbagai persoalan Hidup untuk diselesaikan agar kita bertambah bijaksana.
Kita memohon kemakmuran…
Dan Tuhan memberi kita Otak dan Tenaga untuk dipergunakan sepenuhnya dalam mencapai kemakmuran.
Kita memohon Keteguhan Hati…
Dan Tuhan memberi Bencana dan Bahaya untuk diatasi.
Kita memohon Cinta…
Dan Tuhan memberi kita orang-orang bermasalah untuk diselamatkan dan dicintai.
Kita Memohon kemurahan/kebaikan hati…
Dan Tuhan memberi kita kesempatan-kesempatan yang silih berganti.
Begitulah cara Tuhan membimbing Kita. Apakah jika saya tidak memperoleh yang saya inginkan, berarti bahwa saya tidak mendapatkan segala yang saya butuhkan? Kadang Tuhan tidak memberikan yang kita minta, tapi dengan pasti Tuhan memberikan yang terbaik untuk kita, kebanyakan kita tidak mengerti mengenal, bahkan tidak mau menerima rencana Tuhan, padahal justru itulah yang terbaik untuk kita.
Tetaplah berjuang…berusaha…dan berserah diri…
Jika itu yang terbaik maka pasti Tuhan akan memberikannya untuk kita.
Bersyukurlah karena kamu belum memiliki segala sesuatu yang kamu inginkan,
seandainya sudah, apalagi yang harus diinginkan.
Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu sesuatu,
karena itu memberimu kesempatan untuk belajar.
Bersyukurlah untuk masa-masa sulit,
karena di masa itulah kamu tumbuh.
Bersyukurlah untuk keterbatasanmu,
karena itu memberimu kesempatan untuk berkembang.
Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru,
karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu.
Hidup adalah perjuangan, di sanalah kita juga butuh pengorbanan.

Sabtu, 08 Mei 2010

AGAMA SEBAGAI SUMBER IDEOLOGI oleh nurcholis masjid

Tanpa mengabaikan segala kebaikan pemerintah sekarang, kita harus mengakui bahwa kita menemukan kesulitan, yakni kita kehilangan orientasi pada nilai-nilai universalitas. Misalnya kebebasan hak asasi, dan nilai-nilai yang mestinya sudah kita serap dengan baik setelah sekian lama merdeka, namun tercecer. Demikian juga conflict of interest yang tak ada di dalam nativisme. Di samping kurangnya kesadaran bahwa mengorbankan untuk kepentingan keluarga di atas kepentingan nasional adalah tindakan yang tak sesuai dengan etika demokrasi modern.

Natsir melihat agama dengan total yang menunjukkan ketulusannya. Tetapi ada sedikit perbedaan dengan saya ketika Natsir mengatakan bahwa agama adalah ideologi. Menurut saya, agama adalah sesuatu yang lebih tinggi dari ideologi, tetapi bisa menjadi sumber ideologi. Bahkan harus menjadi sumber ideologi bagi pemeluk agama. Tetapi agama sendiri tidak boleh didegradasi sebagai ideologi. Memang ini masalah rumusan apa yang dimaksud ideologi. Karena itu, seorang Muslim harus berideologi berdasarkan Islam. Tetapi bukan Islam itu yang ideologi. Karena di sini ada masalah interpretasi, maka dalam ruang lingkup Islam yang besar, masih ada kemungkinan timbulnya berbagai ideologi. Bahkan, kadangkala bertentangan.

Pemahaman Islam seseorang, diwarnai situasi konkret pengalamannya dalam konteks sosial dan ekonomi. Meskipun secara sosial mungkin dibenarkan menurut kenyataannya. Sebab sebetulnya pemahaman kita tentang agama didikte oleh masyarakat. Justru karena itu kita harus mampu mengangkat diri kita di atas situasi. Oleh sebab itu, jangan sampai karena kita merasa beruntung, maka agama kita adalah jenis agama yang mendukung keberuntungan kita. Sebab kenyataannya, sepanjang sejarah memang begitu. Lihat saja paham Jabariah yang didukung habis-habisan oleh rezim Bani Umayah, karena Jabariah menolelir kekuasaan rezim Umayah. Menjawab oposisi Hasan al-Bisri, Umayyah mengatakan, “Apa pun yang kami lakukan adalah atas kehendak Tuhan.”