hidup sekali hiduplah yang berarti,event the best can be improved, the best never last

Senin, 10 Mei 2010

AKSELERASI EKSPOR PRODUK PERIKANAN INDONESIA MELALUI PENERAPAN STANDAR

Ikan dan produk perikanan merupakan komoditas perdagangan yang sangat prospektif, tercatat pada tahun 2006 total ekspor produk perikanan dunia telah mencapai nilai US$ 85,9 milyar, telah terjadi peningkatan rata-rata sebesar 32,1% dibandingkan tahun 2000 (FAO, 2009). Trend peningkatan perdagangan komoditas perikanan dunia bahkan diprediksi terus meningkat dengan beberapa justifikasi diantaranya perubahan pola konsumsi masyarakat dunia kearah makanan yang sehat. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya perikanan, Indonesia pada tahun 2007 bercokol di peringkat 3 (tiga) dunia dengan produksi sebesar 12,5 juta ton ikan air laut maupun air tawar. Ironisnya dari sisi ekspor Indonesia hanya mampu menghasilkan devisa sebesar US$ 2 milyar atau berada di posisi ke 12 dunia pada tahun 2006 (FAO Fishstat, 2008). Jika merujuk pada peluang pasar produk perikanan di pasar global dan potensi perikanan yang dimiliki maka sangat realistis jika di masa mendatang proporsi ekspor perikanan Indonesia dapat ditingkatkan. Permasalahannya adalah adanya standar-standar perdagangan yang diberlakukan baik secara mandatory oleh negara pengimpor dan standar yang bersifat sukarela. Standar ini jika tidak mampu dipenuhi maka akan sangat mempengaruhi kinerja ekspor perikanan di masa mendatang.

Kata kunci: produk perikanan, penerapan standar, ekspor






I. POTRET PERDAGANGAN KOMODITAS PERIKANAN DUNIA
Industri perikanan internasional telah mengalami peningkatan signifikan beberapa tahun terakhir. FAO menyebutkan bahwa pada selama periode 2003 sampai 2006 telah terjadi peningkatan nilai ekspor komoditas perikanan rata-rata 10,44% hingga mencapai nilai lebih dari US$ 85 milyar. Jika dilihat dari pasar potensial maka Eropa merupakan importir utama produk perikanan dunia dengan sekitar US$ 41 milyar. Kawasan Asia dan Amerika selanjutnya menjadi pasar potensial bagi produk perikanan dunia (Fishstat 2008).
Dari potensi perdagangan komoditas perikanan dunia pada tahun 2007, Indonesia dominan mengekspor produk perikanan ke negara-negara Asia sebesar 70,97% dengan nilai sekitar 48,22%, selanjutnya adalah wilayah Amerika dengan persentase volume sebesar 17,03% dengan nilai 35,60%. Pasar potensial bagi produk perikanan Indonesia selanjutnya adalah Eropa dengan persentase volume hanya 10,35% namun prosentase nilai sebesar 13,11% (DKP, 2009). Jika dilihat dari parameter ratio harga dan volume ekspor, terlihat bahwa pasar Eropa merupakan pasar yang baik karena ratio harga lebih tinggi dibandingkan wilayah lain.
Permasalahannya adalah terlihat tendensi penurunan pangsa pasar ekspor produk tuna Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2006 sampai hanya 1,26% (Tabel 1). Turunnya pangsa pasar kemungkinan dipengaruhi oleh ketatnya standar produk yang belum bisa dipenuhi oleh Indonesia (Tabel 1). Ada optimisme bahwa dengan penerapan standar maka pangsa pasar produk perikanan Indonesia di dunia dapat ditingkatkan.
Tabel 1 Perkembangan Pangsa Pasar Tuna Indonesia di Uni Eropa



II. MENINGKATKAN PANGSA PASAR PRODUK PERIKANAN INDONESIA
Tingginya permintaan akan kebutuhan bahan pangan termasuk perikanan secara tidak langsung mendorong terjadinya perdagangan Internasional. Seperti sudah diulas sebelumnya bahwa perdagangan produk perikanan di dunia menunjukkan trend peningkatan yang telah mencapai lebih dari US$ 85 milyar pada tahun 2006 (Fishstat, 2008). Seiring dengan semakin meningkatnya transaksi bahan pangan, kemungkinan timbulnya bahaya akibat bahan pangan yang tercemar semakin sering ditemukan sehingga memunculkan pemikiran untuk memproteksi produk-produk yang masuk ke suatu kawasan tertentu. Dalam konteks perdagangan Internasional, konsep proteksi ini dikenal dengan istilah Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement dan Sanitary and Phytosanitary (SPS) Agreement.
Dalam impelementasi TBT dan SPS, negara-negara importir produk perikanan menetapkan standar yang ketat bagi produk yang dipasarkan di negara mereka, bahkan ada mekanisme untuk menolak bahkan memusnahkan produk-produk yang tidak seusia dengan standar. Standar yang ditetapkan oleh negara importir diwujudkan dalam bentuk regulasi teknis seperti tertera sebagai berikut:
1. Uni Eropa
• EC No 178/2002 tentang persyaratan utama undang-undang pangan serta prosedur keamanan pangan
• EC No. 882/2004 tentang pengawasan oleh pemerintah
• EC No. 852/2004 tentang keamanan bahan pangan
• EC No.853/2004 tentang peraturan khusus untuk keamanan bahan baku
• EC No. 854/2004 tentang badan pengawas keamanan asal bahan pangan
• EC No.446/2001 tentang batas maksimum kontaminasi dalam bahan pangan
• EC No. 2073/2005 tentang ktiteria mikrobiologi bagi bahan pangan
• Catch certificate berlaku tahun 2010
2. Amerika Serikat
• Federal Food, Drug and Cosmetic Act
• Code of Federal Regilation (CFR) 123
• Bioterorism Act (TBA)
3. Kanada
• Food and Drug Act
• Canadian Food Inspection Agency Act
• Fish Inspection Act
• Consumer and Labelling Act
• Fish Inspection Regulation
4. Jepang
• Food sanitation law
5. China
• Food hygine of the People’s Republic of China
Poin penting yang tertera dari masing-masing regulasi teknis adalah bagaimana eksportir membuktikan bahwa produk yang dipasarkan telah memenuhi persyaratan standar yang dibutuhkan. Biasanya masing-masing negara mengembangkan prosedur monitoring, pengujian maupun pemeriksaaan yang dapat menjamin bahwa produk sesuai standar yang diinginkan. Umumnya pembuktian terhadap keseusian standar diwujudkan dalam bentuk sertifikasi.
Selain persyaratan yang bersifat wajib (regulasi teknis), masing-masing pasar yang berkiblat pada konsumen memiliki persyaratan pasar yang bersifat sukarela (voluntary). Persyaratan seperti ini biasanya dipersyaratkan oleh pembeli. Beberapa persyaratan standar yang sifatnya sukarela adalah:
1. Marine Stewardship Council (MSC), fokus pada isu lingkungan seperti chain of custody produk perikanan dan fisheries management. Dipersyaratkan oleh beberapa importir dari Amerika Serikat, Jepang maupun Australia.
2. Aquaculture Certification Council (ACC), fokus pada isu praktek-praktek budidaya perikanan yang baik mencakup aspek teknis, lingkungan dan sosial. Importir dari Amerika Serikat merupakan pendukung utama standar ini.
3. International Standardisation Organisation (ISO), fokus pada isu kemanan pangan (ISO 22000), lingkungan (ISO 14001) serta kualitas (ISO 9001). Standar yang ditetapkan oleh skema ISO umumnya dipersyaratkan oleh masing-masing importir di banyak negara.
4. British Retail Consortium (BRC), fokus pada keamanan pangan produk, pengemasan sampai penyimpanan dan distribusi. Dipersyaratkan terutama oleh importir Uni Eropa.
Berdasarkan penjelasan mengenai standar-standar di atas maka terlihat bahwa kunci penting untuk meningkatkan pangsa pasar produk perikanan Indonesia adalah berupaya menerapkan standarsesuai dengan persyaratan pasar.
III. PENOLAKAN DALAM PERDAGANGAN PRODUK PERIKANAN
INTERNASIONAL: ANCAMAN TERHADAP KINERJA EKSPOR PERIKANAN
Globalisasi perdagangan dunia, meningkatnya perkembangan teknologi produksi, penanganan dan distribusi bahan pangan serta kesadaran akan pentingnya bahan pangan yang aman dan bekualitas menempatkan keamanan pangan dan jaminan mutu sebagai prioritas bagi banyak negara. Perkembangan ini berdampak pada semakin ketatnya pengawasan dari negara importer terhadap keamanan pangan khususnya di bidang sanitasi dan hygene (Ababouch et al. 2006).
Menurut Ababouch (2006), peraturan yang disyaratkan negara importir seringkali menjadi penghambat dalam perdagangan. Negara berkembang yang umumnya merupakan eksportir utama produk perikanan seringkali dihadapkan pada penolakan akibat kompleksitas program sanitasi dan persyaratan mutu dari negara tujuan ekspor. Selain itu tidak harmonisnya standar dan sistem yang digunakan pada negara tujuan ekspor juga menghambat perdagangan internasional. (Ababouch et al. 2006).
Ketatnya program sanitasi serta tidak harmonisnya persyaratan dan sistem yang digunakan berdampak pada meningkatnya kasus penolakan perdagangan internasional. Penolakan merupakan salah satu bentuk proteksi dalam perdagangan internasional. Proteksi secara umum ditujukan sebagai tindakan untuk melindungi produksi dalam negeri terhadap persaingan bahan impor di pasaran dalam negeri. Dalam keadaaan normal, proteksi yang sering dijumpai berupa hambatan tarif dan hambatan non tarif. Peningkatan kasus kasus penolakan produk perikanan di negara-negara tujuan ekspor utama tertera pada tabel berikut.
Tabel 2 Kasus Penolakan Produk Perikanan di Negara Tujuan Utama Ekspor Negara
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Uni Eropa
127
152
174
429
252
332
259
Jepang
0
181
0
0
0
246
29
Amerika Serikat
0
0
667
1927
1505
2282
1644
Kanada
170
121
125
174
459
445
404
Sumber: Ababouch (2006)
Indonesia sebagai negara eksportir utama produk perikanan juga mengalami berbagai kasus penolakan produk. Berdasarkan data yang dilansir oleh RASSF, sejak tahun 2003 sampai 2008, sering kali ditemukan kasus detension terhadap produk perikanan yang diekspor ke uni eropa, meskipun kecenderungannya mulai menurun. Bahkan data terakhir per Mei 2009 belum ditemukan notifikasi terhadap produk perikanan Indonesia ke Uni Eropa.
Trend notifikasi yang menunjukkan peningkatan selama periode 2003-2005 ternyata sempat membuat repot ekspor perikanan Indonesia dengan ditetapkannya CD 235 tahun 2006 yang mewajibkan seluruh produk perikanan Indonesia yang masuk ke Uni Eropa harus diuji sehingga sangat berpengaruh terhadap biaya ekspor yang makin meningkat. Ditinjau dari penyebabnya maka setidaknya ada 5 penyebab utama notifikasi produk perikanan Indonesia, yaitu penggunaan obat-obatan seperti antibiotik nitrofuran maupun chloraphenicol diatas ambang batas yang diperbolehkan, kandungan mikrobiologi yang tinggi, histamin,logam berat serta organoleptik.
Selain dari Uni Eropa, penolakan produk perikanan Indonesia juga dilakukan oleh Amerika Serikat dan Jepang. Amerika Serikat dengan sistem automatic detention yang dikendalikan oleh USFDA membuka fakta bahwa sejak tahun 2003 sampai tahun 2008 ditemukan lebih dari 100 kasus penahanan setiap tahunnya, puncaknya pada tahun 2004 ditemukan sebanyak 442 kasus. Positifnya sejak tahun 2008 terlihat trend penurunan kasus penahanan produk perikanan.
Berbeda dengan jenis kasus penolakan dari Uni Eropa yang dominan disebabkan oleh kondisi bahan baku, maka di Amerika Serikat penahanan produk oleh USFDA lebih disebabkan oleh kondisi pengolahan produk yang terkontaminasi secara fisik (filthy). Permasalahan selanjutnya yang sering ditemukan adalah produk yang tercemar oleh Salmonella diatas ambang batas yang diperbolehkan.
Trend penolakan/penahanan produk perikanan di Uni Eropa dan Amerika Serikat, untuk pasar Jepang penolakan ekpor produk perikanan Indonesia juga menunjukkan pola yang menurun. Berdasarkan data Japan Product Rejected, sampai bulan November 2007, total produk Indonesia yang ditolak berjumlah 46 kasus. Produk yang bermasalah umunya adalah udang dengan jenis kontaminan adalah AOZ dan SEM.
Munculnya kasus-kasus penolakan produk perikanan Indonesia di pasar internasional seperti tertera di atas secara tidak langsung dapat mempengaruhi citra produk perikanan Indonesia sehingga daya tawar/daya saing produk perikanan Indonesia dibandingkan negara lain dapat turun. Jika kondisi ini terus terjadi dan tidak ada upaya sungguh-sungguh dari seluruh komponen bangsa maka bukan tidak mungkin kinerja ekspor produk perikanan Indonesia dapat terhambat.
IV. ANALISIS MENGENAI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINEJA EKPOR PRODUK PERIKANAN INDONESIA
Adanya dampak penerapan standar terhadap akselerasi ekspor produk perikanan indonesia secara logis sudah dapat diterima, hanya saja perlu pembuktian secara kuantitatif. Berdasarkan hal tersebut dilakukan analisis awal untuk melihat pola/kecenderungan pengaruh penerapan standar oleh negara importir terhadap akselerasi ekspor perikanan Indonesia.
Ada 4 (empat) atribut yang dinilai dapat mempengaruhi akselerasi ekspor perikanan Indonesia, yaitu (1) harga (PIKN), (2) produksi (QPROD), (3) nilai tukar (VTKR) dan (4) hambatan non tarif (DP). Hambatan non tarif diukur dengan menggunakan variabel boneka (dummy variabel) yang dimulai pada tahun 2004 dengan asumsi bahwa munculnya EC No.882/2004 tentang pengawasan oleh pemerintah dan munculnya aturan-aturan lain perihal keamanan bahan pangan dan keamanan bahan baku.
Analisis dilakukan terhadap 3 (tiga) blok utama yaitu (1) jenis komoditas ekspor utama yaitu tuna dan udang, (2) pasar ekspor utama yang dibagi dalam empat kelompok yaitu Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat dan pasar prospektif yang diisi oleh negara-negara Asean dan Asia Timur, dan (3) komoditas per pasar. Data-data yang dikumpulakan adalah data periode 2002-2007 yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan regresi linear berganda (Ordinary Least Square).
Berdasarkan hasil analisis, ditemukan fakta bahwa harga ikan dari Indonesia umumnya berpengaruh negatif terhadap volume ekspor Indonesia. Artinya ketika terjadi peningkatan harga ikan cenderung akan menurunkan volume ekspor produk perikanan. Pengecualian terjadi untuk proroduk perikanan yang diekspor ke Jepang dan lebih spesifik lagi udang yang diekspor ke Jepang justru harga tidak terlalu mempengaruhi ekspor perikanan. Ada dugaan bahwa udang merupakan salah satu makanan yang memiliki pasar eksklusif di Jepang sehingga harga bukan pertimbangan utama konsumen dalam membeli produk. Dugaan ini didukung juga dengan harga rata-rata produk udang ekspor Indonesia ke Jepang yang mencapai US$ 8,18 per kg selama periode 2002-2007, jauh lebih tinggi dibandingkan harga udang di Uni Eropa Maupun Amerika Serikat yang masing-masing hanya US$ 1,80 per kg dan US$ 5,60 per kg.
Fakta lain yang ditemukan dari hasil analisis adalah produksi perikanan Indonesia umumnya berpengaruh positif terhadap volume ekspor Indonesia, sehingga dengan meningkatnya produksi perikanan juga akan berdampak pada peningkatan ekspor perikanan Indonesia. Poin yang menarik dari data yang dianalisis adalah produksi perikanan justru berpengaruh negatif terhadap ekspor udang ke Jepang, negara prospektif dan juga ekspor tuna ke Uni Eropa. Fenomena ini diduga disebabkan oleh adanya spesifikasi khusus jenis produk yang diminta oleh masing-masing pasar ekspor yang cenderung berbeda dengan kemampuan produksi Indonesia, misalnya dari sisi ukuran (grade), persyaratan mutu dan jenis produk. Pasar Jepang dan Uni Eropa cenderung eksklusif dalam jenis produk yang diminta sedangkan negara-negara prospektif umumnya meminta produk untuk kepentingan pengolahan lanjutan.
Nilai tukar sebenarnya memiliki keterkaitan dengan harga ikan, karena nilai tukar secara tidak langsung akan mempengaruhi harga ikan akibat transaksi perdagangan yang umumnya dilakukan dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika. Hasil analisis menunjukkan kecenderungan bahwa nilai tukar berpengaruh negatif terhadap ekspor perikanan. Artinya dengan peningkatan nilai tukar rupiah (rupiah menguat) terhadap dollar maka ekspor perikanan cenderung menurun. Jika merujuk pada data analisis maka fenomena ini terjadi untuk blok ekspor ke Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa, ekspor udang ke Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa serta ekspor tuna ke Amerika Serikat. Muncul dugaan bahwa kecenderungan menurunnya ekspor ke masing-masing pasar ketika terjadi peningkatan nilai tukar diakibatkan para eksportir cenderung menahan ekspor karena selisih nilai tukar menjadi semakin sempit, sedangkan harga-harga input produksi yang didominasi komponen lokal justru mengalami peningkatan. Bahkan jika dilihat pada kondisi masing-masing pasar, maka dugaan ini bisa diperkuat dengan asumsi bahwa jenis produk yang diekspor (khususnya udang) ke masing-masing negara adalah jenis produk olahan yang membutuhkan biaya tambahan yang relatif besar untuk memproduksinya. Adapun relatif tidak berpengaruhnya produk tuna maupun pasar prospektif terhadap nilai tukar kemunkinan juga disebabkan jenis produk yang diminta umumnya dalam bentuk bahan baku.
Poin yang sangat menarik dari hasil analisis adalah hambatan non tarif dalam bentuk penetapan standar ekspor di beberapa blok berpengaruh negatif terhadap kinerja ekspor produk perikanan. Artinya jika ada kebijakan non tarif yang ditetapkan oleh importir maka volume ekspor perikanan akan menurun. Fenomena ini ditemukan pada ekspor produk udang ke Jepang, udang ke Prospektif dan Tuna ke prospektif. Kecenderungan penurunan ekspor udang ke Jepang ketika adanya hambatan non tarif bisa dimaklumi karena Jepang merupakan salah satu negara yang sangat ketat dalam penerapan standar. Tendensi kebijakan non tarif yang mempengaruhi ekspor udang dan tuna ke negara prospektif justru menjadi hal yang sangat menarik, karena jamak diketahui bahwa standar yang ditetapkan di masing-masing negara tersebut tidak seketat di Jepang, Amerika Serikat maupun Uni Eropa. Hal ini kemungkinan disebabkan mulai tumbuhnya kesadaran akan standar di masing-masing negara sehingga dapat menjadi peringatan bagi Indonesia jika tidak segera menerapkan standar yang selaras dengan keinginan negara-negara prospektif maka dapat terus mengalami penurunan ekspor di masa mendatang.
Fenomena menarik lainnya yang ditemukan pada hasil analisis hambatan non tarif adalah di pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa ternyata belum berpengaruh negatif terhadap kinerja ekspor. Hal ini kemungkinan bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Prosedur ekspor ke negara Uni Eropa dan Amerika Serikat sangat ketat dan mendapat pengawasan langsung dari otoritas kompeten di Indonesia sehingga ekspor kenegara tersebut tetap meningkat meskipun ada hambatan non tarif. Artinya produk yang dieskpor sudah dapat diyakinkan terhadap pemenuhan standarnya.
2. Bahwa jika dilihat dari prosentase perkembangan ekspor terlihat ada kecenderungan penurunan untuk pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat sehingga ketika dianalisis dengan memasukkan komponen perkembangan ekspor dalam model kemungkinan akan terlihat pengaruh negatif dari kebijakan non tarif terhadap ekspor perikanan Indonesia.
Meskipun telah tergambar pola faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor perikanan namun analisis yang dilakukan masih perlu disempurnakan lagi dengan menambahkan jumlah data yang dianalisis maupun identifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja ekspor produk perikanan.
Tabel 3 Hasil Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Ekspor Perikanan Indonesia
V. Penutup
Penerapan standar sesuai dengan permintaan pasar merupakan kunci sukses untuk memenangkan persaingan di pasar Internasional. Produk yang sesuai dengan standar akan dengan leluasa memasuki pasar, sebaliknya produk tidak sesuai standar akan terlepas dari persaingan perdagangan. Indonesia dengan segala potensi yang dimiliki memiliki kemampuan untuk itu, hanya saja dibutuhkan upaya keras dan kesungguhan dari masing-masing stakeholder sesuai kapasitasnya untuk membangun dan memperbaiki perikanan Indonesia.

VI. Daftar Pustaka
1. Ababouch L. 2006. Detention and Rejections of Fish and Seafood at Borders of Major Importing Countries. Food and Agriculture Organization. Italy
2. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Analisis Data Statistik 2007. Jakarta
3. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Statistik ekspor Hasil Perikanan Tahun 2006. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
4. FAO. Fishstat plus (universal softwere fos fisheries statistical time series) http://www.fao.org/fi/statist/FISOFT/FISHPLUS.asp. per juni 2008











Tidak ada komentar:

Posting Komentar