hidup sekali hiduplah yang berarti,event the best can be improved, the best never last

Sabtu, 08 Mei 2010

oseanografi

Perairan Indonesia dengan luas wilayah sekitar 3,1 juta kilometer persegi memiliki karakteristik yang beragam di mana kehidupan segala sumber daya alam hayati yang ada di dalamnya membutuhkan kehangatan suhu perairan untuk proses fotosintesis.
Seperti halnya suhu badan manusia yang merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui sehat atau tidaknya seseorang, suhu laut juga memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan kehidupan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Berdasarkan berbagai penelitian dan pengamatan diketahui bahwa suhu muka laut Indonesia sangat dinamis dan memiliki kisaran 26°C-31,5°C.
Suhu muka laut di perairan sebelah barat Bengkulu-Lampung, selatan Jawa, Bali, NTB, NTT, dan Merauke mempunyai rentang perubahan cukup besar, yaitu minimum 26,0°C pada bulan Agustus hingga maksimum berkisar 31,5°C pada Februari-Maret. Adapun wilayah perairan lain pada umumnya mempunyai rentang perubahan lebih kecil, yaitu 29,0°C-31,5°C.
Perubahan suhu
Perubahan suhu muka laut dapat terjadi karena beberapa kondisi, antara lain proses sirkulasi laut regional seperti arus massa air yang lebih hangat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melewati sebagian wilayah perairan Indonesia.
Proses naiknya massa air yang lebih dingin dan kaya akan zat hara dari kedalaman tertentu ke zona dekat permukaan laut di mana cahaya matahari masih dapat menembus, yang biasa disebut dengan upwelling, ’juga menyebabkan suhu permukaan laut di perairan tersebut menjadi lebih dingin. Sebab lain adalah adanya pemanasan global yang juga memengaruhi pola iklim regional Indonesia, termasuk kenaikan suhu muka laut.
Perubahan suhu laut yang mendadak dapat berdampak negatif, yaitu menurunnya kualitas hingga kerusakan ekosistem laut dan pesisir seperti pemutihan (bleaching) terumbu karang dan kematian budidaya pesisir, sehingga isu perubahan iklim dipandang sebagai ancaman terbesar bagi terumbu karang.
Suhu optimum untuk pertumbuhan terumbu karang adalah 25°C-29°C. Peningkatan suhu permukaan laut antara 1°C hingga 2°C biasanya akan diikuti oleh bleaching pada koloni yang tidak tahan terhadap perubahan lingkungan. Pada waktu El NiƱo kuat yang terjadi pada tahun 1997-1998, coral bleaching terjadi di beberapa wilayah perairan pesisir seperti Sumatera Barat, Sumatera bagian timur, Kepulauan Seribu, Bali, Karimunjawa, Gili Lombok, dan Kalimantan Timur.
Kenaikan suhu air laut dapat menyebabkan terancamnya mata pencarian nelayan pesisir. Hal ini karena kenaikan suhu laut akan membawa banyak perubahan bagi kehidupan di bawah laut, seperti punahnya berbagai jenis ikan, terutama ikan yang hidup dalam ekosistem terumbu karang.
Suhu permukaan laut (SPL) dapat diukur secara konvensional maupun secara modern dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Metode pengukuran SPL dengan cara tradisional sangatlah membosankan.
Data in situ (lapangan) SPL dapat diperoleh dari data pelampung (bouy), kapal penumpang dan barang yang telah dilengkapi oleh sensor pengukur temperatur air, dan survei oseanografi ilmiah dengan kapal riset yang relatif jarang dilaksanakan karena biayanya yang mahal. Secara modern, SPL telah dihasilkan secara rutin oleh satelit meteorologi NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer) sejak tahun 1980-an, dengan menggunakan data pantulan cahaya pada panjang gelombang termal inframerah.
Permasalahan dan solusi
Data SPL dapat digunakan untuk memantau berbagai fenomena laut, seperti upwelling, sea front (batas di antara dua jenis masa air), arus eddy (pusaran arus air), pendinginan massa air, serta untuk membuat peta prediksi daerah penangkapan ikan pelagis yang hidup dekat permukaan perairan.
Selain itu, SPL ini juga penting untuk mengetahui keseimbangan laut dan atmosfer dari waktu ke waktu sehingga kita dapat mengetahui perubahan iklim dan dampaknya terhadap perairan Indonesia beserta ekosistem yang ada di dalamnya.
Musim hujan identik dengan masa sulit untuk menghasilkan informasi suhu permukaan laut dari satelit penginderaan jauh disebabkan oleh tingginya tutupan awan. Rata-rata pada musim hujan ini informasi yang bisa digunakan kurang dari 20 persen dari total data yang ada. Solusi yang dilakukan untuk mengisi data yang kosong biasanya adalah dengan menggabungkan satu set data sejenis menjadi suatu informasi baru yang mewakili satu periode waktu (mingguan atau bulanan).
Teknologi pembuatan SPL terkini yang dikembangkan oleh Tohoku University, Jepang, menerapkan metode analisis obyektif untuk menggabungkan (merging) beberapa data SPL dengan spesifikasi yang berbeda. Beberapa data SPL diturunkan dari data satelit pada saluran termal inframerah maupun microwave.
Penggabungan data dimaksudkan untuk mendapatkan data SPL yang unggul dengan resolusi spasial tinggi dari NOAA- AVHRR, interval waktu perekaman yang pendek dari GMS (Geostationary Meteorological Satellite) serta bebas awan dari microwave TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Produk SPL generasi baru ini menghasilkan data SPL yang bebas dari tutupan awan dengan resolusi spasial yang lebih baik.
Upaya ini diperlukan agar data suhu perairan Indonesia dapat terisi penuh (no gap) dengan informasi harian dan resolusi tinggi (high resolution) untuk dapat memahami fenomena laut dan pesisir dengan lebih baik serta mendukung aktivitas masyarakat di laut. Seperti dapat dilihat pada contoh citra satelit suhu permukaan laut generasi baru untuk tanggal 16 Februari 2009 (puncak musim hujan).
Lebih jauh lagi, informasi ini dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kualitas prediksi cuaca laut dan sistem pemantauan laut Indonesia.

REFERENCES/RUJUKAN

Cowen, R.K., S. Sponaugle, C. B. Paris, K.M.M. Lwiza, J.L. Fortuna and S. Dorsey. 2003. Impact of North Brazil current rings on local circulation and coral reef fish recruitment to Barbados, West Indies. In: G.J. Goni and P.M. Rizzoli, eds., Interhemispheric water exchange in the Atlantic Ocean. Amsterdam: Elsevier.
Dale, W.L. 1956. Wind and drift currents in the South China Sea. Malay. J. Trop. Geogr. 8: 1-31.
Liew, H.C.,  Samo K, & Matsumitsu S. 1987. Subsurface currrents off the South-western portion of the South China Sea. In: Mohsin, A.K.M., Ambak, M.A. and Ridzwan, A.R. (Eds.) Expedisi Matahari '86. Occasional Publication no. 4. Faculty of Fisheries and Marine Science, U.P.M. Serdang Selangor, Malaysia:17-22.
Pond, S & Pickard, G.L. 1995. Introductory Dynamical Oceanography. 2nd edition. London: Butterworth-Heinemann.
Tomczak, M. 1998. Island wakes in deep and shallow water. Journal of Geophysical Research 93: 5153 - 5154.
Tomczak, M. 1988. Shelf and Coastal Oceanography (http://www.es.flinders.edu.au/~mattom/ShelfCoast/, accessed on 19 October 2005).
Tsanis, I.K. & Wu, J. 1995. A nested-grid hydrodynamic/pollutant transport model for nearshore areas in Hamilton Harbour, Water Pollution Research Journal of Canada 302: 205-229.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar