hidup sekali hiduplah yang berarti,event the best can be improved, the best never last
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Mei 2010

PROSES PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL oleh fatich ubaidillah

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
a. pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut;
b. keterkaitan antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut dalam suatu Bioekoregion;
c. penetapan pemanfaatan ruang laut; dan
d. penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industry strategis, serta pertahanan dan keamanan.
PENDIDIKAN, PELATIHAN, DAN PENYULUHAN
Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, sesuai dengan peraturan perundangundangan.
KETENTUAN PIDANA
 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja:
a. melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu .
b. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain.
c. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun.
d. melakukan penambangan pasir.
e. melakukan penambangan minyak dan gas.
f. melakukan penambangan mineral.
g. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan.
h. tidak melaksanakan mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
pengawasan dan pengendalian, dengan uraian sebagai berikut :
a. Perencanaan
Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana aksi.
b. Pengelolaan
c. Pengawasan dan Pengendalian
II. PASAL DEMI PASAL
Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Wilayah Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau Kecil dan perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber daya, lingkungan, dan masyarakat. Asas keterpaduan dikembangkan dengan:
1. mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertical antara pemerintah dan pemerintah daerah;dan
2. mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dua faktor yang mempengaruhi keberlanjutan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ialah:
a. interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya dan jasajasa lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti pembangunan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perikanan destruktif, reklamasi pantai, pemanfaatan mangrove dan pariwisata bahari;dan
b. proses-proses alamiah seperti abrasi, sedimentasi, ombak, gelombang laut, arus, angin, salinitas, pasang surut, gempa tektonik, dan tsunami. Kepentingan pusat dan daerah merupakan keterpaduan dalam bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti pertahanan negara, wilayah perbatasan negara, kawasan konservasi, alur pelayaran internasional, Kawasan migrasi ikan dan kawasan perjanjian internasional di bidang kelautan dan perikanan. Kawasan Konservasi dengan fungsi utama melindungi kelestarian sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang setara dengan kawasan lindung dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Alur laut merupakan perairan yang dimanfaatkan, antara lain, untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut. Pemanfaatan ruang laut antara lain untuk kegiatan pelabuhan, penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, industri, dan permukiman. Penggunaan sumber daya yang diizinkan merupakan penggunaan sumber daya yang tidak merusak ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penggunaan sumber daya yang dilarang adalah penggunaann sumber daya yang berpotensi merusak Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
 Karakteristik Wilayah Pesisir merupakan daerah yang memiliki produktivitas hayati dan intensitas pembangunan yang tinggi serta memiliki perubahan sifat ekologi yang dinamis. Pulau-Pulau Kecil merupakan pengertian yang terintegrasi satu dengan yang lainnya, baik secara fisik, ekologis, sosial, budaya, maupun ekonomi dengan karakteristik sebagai berikut :
a. terpisah dari pulau besar;
b. sangat rentan terhadap perubahan yang disebabkan alam dan/atau disebabkan manusia;
c. memiliki keterbatasan daya dukung pulau;
d. apabila berpenghuni, penduduknya mempunyai kondisi sosial dan budaya yang khas;
e. ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau, baik pulau induk maupun kontinen.
Pendaftaran HP-3 merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan, dan teratur yang meliputi pengukuran, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang perairan, termasuk pemberian sertifikat HP-3. Suaka perikanan merupakan kawasan perairan tertentu baik air payau maupun air laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung atau berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. Alur pelayaran merupakan bagian dari perairan baik alami maupun buatan yang dari segi kedalaman, lebar, dan hambatan pelayaran lainnya dianggap aman untuk dilayari.
 Kawasan pelabuhan meliputi daera lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan. Pantai umum merupakan bagian dari kawasan pemanfaatan umum yang telah dipergunakan masyarakat antara lain untuk kepentingan kegiatan sosial, budaya, rekreasi pariwisata, olah raga, dan ekonomi. Kawasan yang dilindungi merupakan kawasan yang harus tetap  dipertahankan keberadaannya dari kerusakan lingkungan, baik yang diakibatkan oleh tindakan manusia maupun yang diakibatkan oleh alam untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menjaga kelestarian ekosistem pesisir meliputi upaya untuk melindungi gumuk pasir, estuari, lagoon, teluk, delta, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Zona inti merupakan bagian dari Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dilindungi, yang ditujukan untuk perlindungan habitat dan populasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta pemanfaatannya hanya terbatas untuk penelitian. Zona pemanfaatan terbatas merupakan bagian dari zona konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang pemanfaatannya hanya boleh dilakukan untuk budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional. Pengayaan sumber daya hayati dilakukan terhadap jenisjenis ikan yang telah mengalami penurunan populasi. Reklamasi di wilayah pesisir hanya boleh dilakukan apabila manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar daripada biaya sosial dan biaya ekonominya.
Kegiatan pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk:
a. mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan dari rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta bagaimana implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir;
b. mendorong agar pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya; serta
c. menegakkan hukum yang dilaksanakan dengan memberikan sanksi terhadap pelanggar yang berupa sanksi administrasi, sanksi perdata, dan/atau sanksi pidana.
Ayat 6
Masyarakat mempunyai peran penting dalam pengawasan dan pengendalian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melalui:
a. perencanaan pengelolaan dengan berdasarkan adat budaya dan praktik-praktik yang lazim atau yang telah ada di dalam masyarakat,
b. pelaksanaan pengelolaan dengan memunculkan kreativitas dan kemandirian dalam hal jumlah dan variasi pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi di tempat-tempat yang sebelumnya belum dapat dimanfaatkan, sehingga wilayah kegiatan pengawasan dan pengendalian dapat diperluas.
c. penyelesaian konflik mengenai aturan-aturan baru yang sengaja dibuat oleh masyarakat karena kebutuhan sendiri ataupun aturan-aturan yang difasilitasi oleh pemerintah. Kawasan strategis nasional tertentu antara lain untuk kepentingan geopolitik, pertahanan dan keamanan, Kawasan rawan bencana besar, perubahan status Zona Inti pada Kawasan Konservasi laut nasional, Pulau-Pulau Kecil terluar, dan Kawasan habitat biota endemik. Penetapan HP-3 oleh Menteri di Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), ijin pemanfaatan pulau-pulau kecil yang menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan, perubahan status Zona inti pada kawasan konservasi perairan Nasional ditempuh dengan mekanisme:
Kegiatan struktur/fisik meliputi pembangunan sistem peringatan dini, pembangunan sarana prasarana, dan/atau pengelolaan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana. Kegiatan nonstrukur/nonfisik meliputi penyusunan peraturan perundangundangan, penyusunan peta rawan bencana, penyusunan peta risiko bencana, penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), penyusunan tata ruang, penyusunan zonasi, pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat.
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain:
1. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu   lingkungan hidup yang ditentukan;
2. memulihkan fungsi lingkungan wilayah pesisir;
3. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir.







DAFTAR PUSTAKA
Costanza, R. (Ed.) (1991) Ecological Economics: The Science and Management of
Sustainability, Columbia University Press, New York.
Dahuri R., Rais Y., Putra S.,G., Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumber daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Harbinson dan Myers,1965, Manpower and Education : Country Studies in Economic
Development
Kay, R. and Alder, J. (1999) Coastal Management and Planning, E & FN SPON, New
York
Moh. Manshur Hidayat & Surochiem As, Artikel Maritim : Pokok-Pokok Strategi
Pengembangan Masyarakat Pantai Dalam Mendorong Kemandirian Daerah,
Ridev Institute Surabaya
Rokhimin D,1999, Prosiding : Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu
Berbasis Masyarakat. Kerjasama Direktorat Jenderal Pembengunan Daerah
dengan Coastal Recsources Management Project (CRMP/CRC-URI). Jakarta.
Rudy C Tarumingkeng,, (2001) Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan,
http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/grp_paper01/kel1_012.htm,

TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. KETENTUAN UMUM 0leh fatich ubaidillah

Dalam Undang–Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
3. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
4. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
5. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuhtumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
6. Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus.
7. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
8. Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
9. Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan.
10. Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah Kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.
11. Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya.
12. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir.
13. Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional.
14. Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
15. Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan.
16. Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan perencanaan.
17. Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
18. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
19. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
20. Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil secara berkelanjutan.
21. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
22. Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula.
23. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
24. Daya Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kemampuan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
25. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
26. Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
27. Dampak Besar adalah terjadinya perubahan negative fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
28. Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan Orang sehingga kualitas pesisir turun pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
29. Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program-program pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat secara sukarela.
30. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat Pesisir.
31. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada Masyarakat Pesisir agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil secara lestari.
32. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
33. Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya system nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
34. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.
35. Masyarakat Tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.
36. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
37. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berupa hak kelompok kecil Masyarakat untuk bertindak mewakili Masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya mengajukan tuntutan berdasarkan kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti kerugian.
38. Orang adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum.
39. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
42. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
43. Mitra Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia, lembaga, pendidikan, penyuluhan, pendampingan, pelatihan, penelitian terapan, dan pengembangan rekomendasi kebijakan.
ASAS DAN TUJUAN
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
berasaskan:
a. keberlanjutan;
b. konsistensi;
c. keterpaduan;
d. kepastian hukum;
e. kemitraan;
f. pemerataan;
g. peran serta masyarakat;
h. keterbukaan;
i. desentralisasi;
j. akuntabilitas; dan
k. keadilan.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan:
 a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;
b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan.
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

RINGKASAN EKSEKUTIF : RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Oleh: Fatich ubaidillah

1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pesisir, meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya.
Akan tetapi kekayaan sumberdaya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an phenomena degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan estuari (muara sungai).
Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan perikanan destruktif, penambangan karang, pembuangan jangkar perahu, dan sedimentasi. Nasib yang sama juga terjadi pada ekosistem mangrove. Sejak awal tahun 1980 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari sekitar 4 juta Ha menjadi sekitar 2,5 juta Ha. Hal ini disebabkan konversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain seperti tambak, kawasan industri dan pemukiman serta pemanfaatan kayu untuk bahan bakar dan bangunan. Selain itu, berbagai estuari yang dekat dengan kota besar mengalami tingkat pencemaran yang memprihatinkan terutama sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan sampah serta bahan tidak melapuk.
Rusaknya ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuari berimplikasi terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan serta erosi pantai. Sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan, berkurangnya populasi benur, nener dan produktivitas tangkap udang.
Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan daya dukung lingkungannya. Sehingga persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak effektif untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati pesisir yang dimanfaatkan pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non-hayati disubstitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor yang menyebabkan kerusakannya.
Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupa mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan masyarakat darat lainnya.
Paradoksi mekanisme pengelolaan wilayah pesisir yang tidak effektif dan kemiskinan masyarakat tersebut harus segera diakhiri. Langkah ke arah itu dimulai dengan mengembangkan sistem pengelolaan wilayah pesisir wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu. Melalui sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu, diharapkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat dilakukan secara optimal, efisien dan berkelanjutan serta memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir yang mengelolanya.
Untuk mewujudkan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu tersebut, maka dipandang perlu landasan hukum tersendiri berupa Undang-Undang (UU). Karena sampai saat ini 20 Undang-Undang (UU) dan berbagai konvensi internasional terkait belum ada yang mengatur keterpaduan pemanfaatan sumberdaya darat dan laut, dan belum memberikan kepastian hukum bagi para pengguna sumberdaya yang melestarikannya. Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu dan dunia usaha terkait.
Untuk mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta memberikan kepastian hukum, maka perlu disusun suatu Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RUU PWP-PPK).

b. Tujuan
Rancangan Pengelolaan Undang-Undang WP-PPK ini bertujuan untuk:
  1. Memperbaiki mekanisme pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat daerah dalam mengelola sumberdaya pesisir dan PPK secara adil, seimbang dan berkelanjutan sesuai prinsip-prinsip dalam undang-undang ini.
  2. Melindungi, mengkonservasi, memanfaatkan, dan merehabilitasi sumberdaya pesisir dan pulau - pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, bagi generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi akan datang.
  3. Memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal dan adat, dan memperbaiki dan meningkatkan pengelolaan oleh masyarakat lokal melalui pengakuan hak tradisional, pemberdayaan masyarakat, serta penumbuhan rasa tanggung jawab pengelolaan.
c. Sasaran
  1. Mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperbaiki melalui mekanisme integrasi, koordinasi dan konsistensi program;
  2. Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil terlindungi, terkonservasi, termanfaatkan secara lestari, dan yang rusak terehabilitasi;
  3. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis masyarakat dan memberdayakan masyarakat dikembangkan;
  4. Kepastian hukum bagi dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah dimantapkan.
  5. Keseimbangan kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota tertata.

2. Kajian Terhadap Perundang-undangan Yang Ada
Dari kajian terhadap peraturan perundang-undangan, terdapat 20 undang-undang, 5 konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, yang memberi legal mandat terhadap 14 sektor pembangunan dalam meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir baik langsung maupun tidak langsung.
 Kegiatan yang diatur dalam perundang-undangan tersebut umumnya bersifat sektoral dan difokuskan pada eksploitasi sumberdaya pesisir jenis tertentu. Undang-undang tersebut terdikotomi untuk meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir di darat saja atau di perairan laut saja. Sehingga terdapat kekosongan hukum yang meregulasi pemanfaatan sumberdaya di wilayah peralihan ekosistem darat dan laut tersebut. Keempat belas sektor tersebut meliputi sektor pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tataruang, pekerjaan umum, pertahanan, keuangan dan daerah.
Visi sektoral pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir, telah mendorong berbagai departemen atau instansi teknis berlomba-lomba membuat peraturan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir sesuai dengan kepentingannya. Ada juga kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah berdasarkan kepentingannya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Pengaturan demikian telah dan akan melahirkan ketidakpastian hukum bagi semua kalangan yang berkepentingan dengan wilayah pesisir.
Berdasarkan hasil kajian terhadap perundang-undangan dan konvensi yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka dijumpai tiga permasalahan hukum yang krusial, yaitu : i. Konflik antar Undang-Undang; ii. Konflik antara UU dengan Hukum Adat; dan iii. Kekosongan Hukum.
Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan kabupaten/kota.
Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status kepemilikan sumber daya alam di perairan pesisir. Di dalam UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumberdaya pesisir, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya, masyarakat adat mengklaim sumberdaya pesisir tersebut dianggap sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia.
Kekosongan hukum yang terjadi pada bidang pengusahaan/pemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang ada ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di dalam UU ini, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.
Ketiga masalah krusial tersebut bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik kewenangan dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumberdaya pesisir. Ketiga masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga solusi yuridisnya pun harus terpadu melalui undang-undang baru yang mengintegrasikan berbagai nberbagai norma-norma hukum yang meregulasi pengelolaan wilayah pesisir.
3. Pokok-Pokok Pikiran, Obyek dan Lingkup Pengaturan
a. Pokok-pokok Pikiran
Pada saat ini terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaan otonomi daerah merupakan replikasi dari pendekatan sector yang cenderung untuk mengeksploitasi sumberdayanya. Undang-undang yang ada dan peraturan daerah lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya dan regulasi lain sehingga menimbulkan kerusakan fisik. Sementara kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan SDP seperti sasi, seke, panglima laot. Terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas publik.
b. Justifikasi
b.1. Wilayah Pesisir Memerlukan Pengaturan Khusus
Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang bersifat khusus sehingga perlu diatur secara tersendiri. Wilayah pesisir ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan menerima dampak dari darat. Sementara terdapat kekosongan dan ketidakpastian hukum di wilayah pesisir. Selain itu terdapat kecenderungan konflik pengelolaan yang tinggi sehingga perlu penyelesaian konfliknya. Kawasan pesisir juga mempunyai dimensi global (agenda 21 bab 17, konvensi hukum laut). Undang-undang yang ada berorientasi darat sehingga perlu RUU baru yang menggunakan pendekatan paradigma laut.
b.2. Rujukan Legislasi RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
  • Tap MPR RI No. IX/MPR RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
  • Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
  • Agenda 21 Bab 17 Konvensi Rio De Jenairo.
b.3. Ciri-Ciri RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Bersifat multi sektor.
  • Koordinatif, integratif dan konsistensi program.
  • Keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya pesisir.
  • Sharing pembiayaan dalam pengelolaan antara pusat dan daerah serta masyarakat.
  • Pengakuan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat pesisir lainnya dalam pengelolaan berbasis masyarakat.
b.4. Fokus RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • Pengaturan proses perencanaan secara wajib dan sukarela (voluntary) dan akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
  • Pengaturan norma pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara umum.
  • Penataan mekanisme koordinasi, integrasi dan konsistensi antar tingkat pemerintahan dan antar instansi terkait dalam pemerintahan yang sama.
c. Obyek dan Lingkup Pengaturan
           Berkenaan dengan kajian terhadap perundang-undangan diatas maka norma-norma yang perlu diatur dalam rancangan undang-undang tersebut meliputi:
i. Mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PPW-PPK) terpadu, yang meliputi:
a. Perencanaan PPW-PPK terpadu,
b. Penataan ruang dan pemintakatan wilayah pesisir dan laut,
c. Pengelolaan pulau-pulau kecil,
d. Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
e. Pengelolaan ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang, dan estuaria; dan
f. Pengendalian kerusakan pesisir.

ii. Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir secara sukarela;
Program PWP-PPK dapat diusulkan oleh masyarakat, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dan diakreditasi (dinilai) apakah telah memenuhi standar minimum yang ditetapkan melalui UU ini. Proses akreditasi dapat dilakukan oleh kabupaten/kota, provinsi atau pusat sesuai tingkat kebutuhan dan kepentingannya, lalu yang telah diberi akreditasi mendapat insentif antara lain sharing pembiayaan.
iii. Penataan kewenangan dan kelembagaan Pelaksana program PWP-PPK.
Kewenangan pengelolaan yang terpilah-pilah perlu diintegrasikan sejalan dengan otonomi daerah, agar setiap program atau perencanaan dapat dilaksanakan secara sinergis dalam satu zona di wilayah pesisir. Lembaga yang mengintegrasikannya perlu dibentuk atau menggunakan yang sudah ada saja.
iv. Pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat pesisir;
Hak-hak masyarakat adat dan masyarakat pesisir bukan adat di akui untuk menjamin akses mereka terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir. Hak yang diakui ini dibarengi dengan kewajiban mereka untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. Masyarakat pesisir ini juga diberdayakan dan mereka berpartisipasi setiap tahap pengelolaan sehingga dapat mengelola sumberdaya pesisir dan mampu menjaganya dari eksploitasi lebih yang dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab.
v. Penyelesaian konflik dan penegakan hukum.
Mekanisme penyelesaian konflik dapat dilakukan dipengadilan namun lebih diprioritaskan diluar pengadilan agar pihak yang bertikai lebih didorong untuk bernegosiasi, berdamai, atau dimediasi lembaga yang ditunjuk. Sedang penegakan hukum dilakukan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dengan memperkuat mekanisme penegakan hukum tersebut di wilayah pesisir yang melibatkan masyarakat.
Norma-norma hukum dan mekanisme perizinan yang telah diatur dalam undang-undang lain dan masih tetap dipertahankan dan norma-norma hukum baru dibuat sepanjang terdapat kekosongan hukum, sedang norma-norma yang bertentangan akan disinkronkan.
4. Outline RUU Pengelolaan Pesisir
0. Konsideran
A. Menimbang
B. Mengingat
C. Memutuskan
D. Menetapkan
I. Ketentuan Umum
A. Definisi
B. Tujuan
C. Prinsip
II. Perencanaan Terpadu Wilayah Pesisir
A. Perencanaan Terpadu
B. Perencanaan Tata Ruang dan Pemintakatan
III. Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir
A. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
B. Pengelolaan Kawasan Konservasi
IV. Pengkayaan Ekosistem dan Pengendalian Kerusakan
A. Pemanfaatan dan Pengkayaan Ekosistem Pesisir
B. Pengendalian Kerusakan
V. Program Akreditasi
A. Umum
B. Kewenangan
C. Proses
D. Materi
E. Tingkatan dan Kriteria
F. Persetujuan terhadap Program Khusus
G. Insentif
VI. Kewenangan
A. Pemerintah
B. Pemerintah Provinsi
C. Pemerintah Kabupaten/Kota
D. Desa/Nagari
VII. Kelembagaan
A. Kelembagaan di Pusat
B. Kelembagaan di Daerah
VIII. Pengakuan Hak dan Pemberdayaan Masyarakat
A. Hak
B. Kewajiban
C. Mekanisme
D. Partisipasi
IX. Perijinan dan Pembiayaan
A. Perijinan
B. Pembiayaan
X. Pemantauan, Pengawasan, dan Evaluasi
A. Pemantauan
B. Pengawasan
C. Evaluasi
XI. Penyelesaian Konflik dan Penegakan Hukum
A. Penyelesaian Konflik
B. Penegakan Hukum
C. Sanksi (administrasi, pidana, perdata)
XII. Ketentuan Peralihan

XIII. Ketentuan Penutup

5. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Berdasarkan prinsip dan obyek pengaturan tersebut, maka jangkauan dan arah dalam RUU PWP-PPK ini adalah mendorong inisiatif semua pihak, khususnya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat pesisir untuk mengelola sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Wilayah pesisir dalam RUU PWP-PPK ini dibatasi kearah laut sejauh 12 mil laut dari garis pantai dan kearah darat sejauh batas wilayah administratif kecamatan.
Pengelolaan sumberdaya pesisir belum diatur oleh Undang-undang yang ada. Sehingga regulasi pemanfaatan pulau-pulau kecil cenderung didasarkan pada undang-undang dengan konteks pengelolaan pulau besar berbasis sumberdaya darat. Belum ada yang berangkat dengan kerangka berpikir dari matra laut.
Prinsip pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu difokuskan pada empat aspek. Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta yang berasosiasi. Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat, kabupaten/kota, kecamatan dan desa. Integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut. Integrasi antara sain dan manajemen. Prinsip berkelanjutan dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir pada saat ini tidak boleh



Badai La Nina dan El Nino (Penyebab, fenomena dan dampak bagi masyarakat) oleh fatich ubaidillah

Fenomena La Nina dan El Nino di Belahan Dunia

La Nina adalah badai besar yang terjadi di lautan karena adanya arus dan gelombang pasang tinggi yang menghempaskan luapan air yang besar, Sebagai salah satu contoh, banjir disebabkan oleh fenomena badai La Nina di Bolivia telah merenggut nyawa 55 orang, laporan dari La Paz menyebutkan. Banjir disebabkan oleh fenomena badai La Nina di Bolivia telah merenggut nyawa 55 orang, laporan dari La Paz menyebutkan.
Tiga masih hilang dan 59.900 kepala keluarga di seantero negara Amerika Latin itu terkenadampak banjir tersebut, Otoritas Pertahanan Sipil Bolivia mengatakan dalam suatu pernyataan. Tujuh di antara sembilan provinsi Bolivia yang dihantam banjir hebat, yaitu Cochabamba, Beni, Santa Cruz, Potosi, La Paz dan Chuquisaca, katanya. Banjir juga menghancurkan 44.100 hektar hasil panen dan merusak 108 rumah warga, katanya menambahkan. Selasa lalu, pemerintah Bolivia secara resmi memaklumkan “bencana nasional” akibat banjir.(ant/Xinhua)
Dampak La Nina sangat besar bagi perekonomian negara Bolivia pada Februari 2008 silam. Fenomena badai La Nina tersebut tidak disangka benar-benar akan menimbulkan banjir raksasa yang sampai mengakibatkan kerusakan dan bencana bagi warga Bolivia.
Bagaimana La Nina atau El Nino terjadi memang suatu fenomena alam yang rumit karena hampir tidak pernah terjadi sesering fenomena lain di lautan seperti gelombang, badai, atau arus. Penyebab el nino menurut berita yang sering terbit di harian Amerika oleh para ahli adalah karena naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik. Salah satu dampak yang nyata adalah kawasan Indonesia timur mengalami kekeringan.

            Faktor yang menyebabkan terjadinya El Nino adalah adanya variabel suhu, tekanan, dan angin di samudra Pasifik. Samudra Pasifik merupakan massa air yang besar dan mampu mengontrol suhu dan iklim di lautan.
Frekuensi terjadinya El Nino sangat tergantung dari kondisi perairan di Samudra Pasifik dan iklim yang sedang terjadi. El Nino disinyalir selama ini terjadi karena naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik yang mengakibatkan tekanan udara naik dengan drastis. Permukaan air laut mengalami ketidakseimbangan dan faktor-faktor iklim dan cuaca seperti angin menyebabkan bergeraknya permukaan air laut ke tekanan yang lebih rendah (suhu lebih rendah). Pergerakan air laut ini yang kemudian dinamakan badai El Nino.
Dampak yang paling jelas adalah berhembusnya udara panas ke beberapa belahan dunia dan negara. Indonesia salah satu yang pernah merasakan dampak dari badai El Nino berupa naiknya suhu beberapa kawasan di Indonesia. Negara lain adalah Bolivia dan Amerika Serikat (California).
Secara nyata yang bisa diamati adalah dampak El Nino dan La Nina di Bolivia. Banjir besar akibat luapan air dari badai La Nina ini telah merenggut korban harta benda dan jiwa yang cukup banyak, bahkan dinyatakan sebagai bencana nasional.
Pola terjadinya badai La Nina dan El Nino memang tidak sesering fenomena umum cuaca seperti hujan atau panas. Fenomena ini terjadi karena sifat anomali air yang sukar untuk diprediksi bagaimana pergerakannya. Meskipun banyak teknologi yang mulai mencari solusi tetapi fenomena alam yang jarang terjadi ini menjadi bahan wacana yang penting bagi masyarakat.



















DAFTAR REFERENSI

UN. 2002. Taken from proceeding “Coping against El Nino for Stabilizing Rainfed Agriculture : Lesson from Asia and Pacific . Proceeding of Joint Workshop Held in Cebu, Philippines September 17-19, 2002. Economic and Social Commision for Asia and Pacific. Philippines.

Meteorology Department of Australia.1996. Climate Variability and El Nino. Bureau of Meteorology Department of Environment. Australia. 

Sabtu, 08 Mei 2010

CAHAYA, SUHU, DAN AIR

1. CAHAYA
Cahaya merupakan faktor lingkungan yang sangat penting sebagai sumber energi utama bagi ekosistem. Ada tiga aspek penting yang perlu dikaji dari faktor cahaya, yang sangat erat kaitannya dengan sistem ekologi, yaitu:
· Kualitas cahaya atau komposisi panjang gelombang.
· Intensitas cahaya atau kandungan energi dari cahaya.
· Lama penyinaran, seperti panjang hari atau jumlah jam cahaya yang bersinar setiap hari.
1. Kualitas Cahaya
Secara fisika, radiasi matahari merupakan gelombang- gelombang elektromagnetik dengan berbagai panjang gelombang. Tidak semua gelombang- gelombang tadi dapat menembus lapisan atas atmosfer untuk mencapai permukaan bumi. Umumnya kualitas cahaya tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok antara satu tempat dengan tempat lainnya, sehingga tidak selalu merupakan faktor ekologi yang penting.
Umumnya tumbuhan teradaptasi untuk mengelola cahaya dengan panjang gelombang antara 0,39 – 7,6 mikron. Klorofil yang berwarna hijau mengasorpsi cahaya merah dan biru, dengan demikian panjang gelombang itulah yang merupakan bagian dari spectrum cahaya yang sangat bermanfaat bagi fotosintesis.
Pada ekosistem daratan kualitas cahaya tidak mempunyai variasi yang berarti untuk mempengaruhi fotosintesis. Pada ekosistem perairan, cahaya merah dan biru diserap fitoplankton yang hidup di permukaan sehingga cahaya hijau akal lewat atau dipenetrasikan ke lapisan lebih bawah dan sangat sulit untuk diserap oleh fitoplankton.
Pengaruh dari cahaya ultraviolet terhadap tumbuhan masih belum jelas. Yang jelas cahaya ini dapat merusak atau membunuh bacteria dan mampu mempengaruhi perkembangan tumbuhan (menjadi terhambat), contohnya yaitu bentuk- bentuk daun yang roset, terhambatnya batang menjadi panjang
2. Intensitas cahaya
Intensitas cahaya atau kandungan energi merupakan aspek cahaya terpenting sebagai faktor lingkungan, karena berperan sebagai tenaga pengendali utama dari ekosistem. Intensitas cahaya ini sangat bervariasi baik dalam ruang/ spasial maupun dalam waktu/temporal.
Intensitas cahaya terbesar terjadi di daerah tropika, terutama daerah kering (zona arid), sedikit cahaya yang direfleksikan oleh awan. Di daerah garis lintang rendah, cahaya matahari menembus atmosfer dan membentuk sudut yang besar dengan permukaan bumi. Sehingga lapisan atmosfer yang tembus berada dalam ketebalan minimum.
Intensitas cahaya menurun secara cepat dengan naiknya garis lintang. Pada garis lintang yang tinggi matahari berada pada sudut yang rendah terhadap permukaan bumi dan permukaan atmosfer, dengan demikian sinar menembus lapisan atmosfer yang terpanjang ini akan mengakibatkan lebih banyak cahaya yang direfleksikan dan dihamburkan oleh lapisan awan dan pencemar di atmosfer.
v Kepentingan Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya dalam suatu ekosistem adalah bervariasi. Kanopi suatu vegetasi akan menahan dann mengabsorpsi sejumlah cahaya sehingga ini akan menentukan jumlah cahaya yang mampu menembus dan merupakan sejumlah energi yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dasar. Intensitas cahaya yang berlebihan dapat berperan sebagai faktor pembatas. Cahaya yang kuat sekali dapat merusak enzim akibat foto- oksidasi, ini menganggu metabolisme organisme terutama kemampuan di dalam mensisntesis protein.
v Titik Kompensasi
Dengan tujuan untuk menghasilkan produktivitas bersih, tumbuhan harus menerima sejumlah cahaya yang cukup untuk membentuk karbohidrat yang memadai dalam mengimbangi kehilangan sejumlah karbohidrat akibat respirasi. Apabila semua faktor- faktor lainnya mempengaruhi laju fotosintesis dan respirasi diasumsikan konstan, keseimbangan antara kedua proses tadi akan tercapai pada sejumlah intensitas cahaya tertentu.
Harga intensitas cahaya dengan laju fotosintesis (pembentukan karbohidrat), dapat mengimbangi kehilangan karbohidrat akibat respirasi dikenal sebagai titik kompensasi. Harga titik kompensasi ini akan berlainan untuk setiap jenis tumbuhan.
v Heliofita dan Siofita
Tumbuhan yang teradaptasi untuk hidup pada tempat –tempat dengan intensitas cahaya yang tinggi disebut tumbuhan heliofita. Sebaliknya tumbuhan yang hidup baik dalam situasi jumlah cahaya yang rendah, dengan titik kompensasi yang rendah pula disebut tumbuhan yang senang teduh (siofita), metabolisme dan respirasinya lambat. Salah satu yang membedakan tumbuhan heliofita dengan siofita adalah tumbuhan heliofita memiliki kemampuan tinggi dalam membentuk klorofil.
v Cahaya Optimal bagi Tumbuhan
Kebutuhan minimum cahaya untuk proses pertumbuhan terpenuhi bila cahaya melebihi titik kompensasinya.
v Adaptasi Tumbuhan terhadap Cahaya Kuat
Beberapa tumbuhan mempunyai karakteristika yang dianggap sebagai adaptasinya dalam mereduksi kerusakan akibat cahaya yang terlalu kuat atau supraoptimal. Dedaunan yang mendapat cahaya dengan intensitas yang tinggi, kloroplasnya berbentuk cakram, posisinya sedemikian rupa sehingga cahaya yang diterima hanya oleh dinding vertikalnya. Antosianin berperan sebagai pemantul cahaya sehingga menghambat atau mengurangi penembusan cahaya ke jaringan yang lebih dalam.
3. Lama Penyinaran
Lama penyinaran relative antara siang dan malam dalam 24 jam akan mempengaruhi fisiologis dari tumbuhan. Fotoperiodisme adalah respon dari suatu organisme terhadap lamanya penyinaran sinar matahari. Contoh dari fotoperiodisme adalah perbungaan, jatuhnya daun, dan dormansi.
Di daerah sepanjang khatulistiwa lamanya siang hari atau fotoperiodisme akan konstan sepanjang tahun, sekitar 12 jam. Di daerah temperata/ bermusim panjang hari lebih dari 12 jam pada musim panas, tetapi akan kurang dari 12 jam pada musim dingin.
Berdasarkan responnya terhadap periode siang dan malam, tumbungan berbunga dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
v Tumbuhan berkala panjang
Tumbuhan yang memerlukan lamanya siang hari lebih dari 12 jam untuk terjadinya proses perbungaan, seperti gandum, bayam, dll.
v Tumbuhan berkala pendek
Tumbuhan yang memerlukan lamanya siang lebih pendek dari 12 jam untuk terjadinya proses perbungaan, seperti tembakau dan bunga krisan.
v Tumbuhan berhari netral
Tumbuhan yang tidak memerlukan periode panjang hari tertentu untuk proses perbungaannya, misalnya tomat.
Apabila beberapa tumbuhan terpaksa harus hidup di kondisi fotoperiodisme yang tidak optimal, maka pertumbuhannya akan bergeser ke pertumbuhan vegetatif. Di daerah khatulistiwa, tingkah laku tumbuhan sehubungan dengan fotoperiodisme ini tidaklah menunjukkan adanya pengaruh yang mencolok. Tumbuhan akan tetap aktif dan berbunga sepanjang tahun asalkan faktor- faktor lainnya dalam hal ini suhu, air, dan nutrisi tidak merupakan faktor pembatas.
2. SUHU
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan makhluk hidup, termasuk tumbuhan. Suhu dapat memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Rai dkk (1998) suhu dapat berperan langsung hampir pada setiap fungsi dari tumbuhan dengan mengontrol laju proses-proses kimia dalam tumbuhan tersebut, sedangkan berperan tidak langsung dengan mempengaruhi faktor-faktor lainnya terutama suplai air. Suhu akan mempengaruhi laju evaporasi dan menyebabkan tidak saja keefektifan hujan tetapi juga laju kehilangan air dari organisme.
Sebenarnya sangat sulit untuk memisahkan secara mandiri pengaruh suhu sebagai faktor lingkungan. Misalnya energi cahaya mungkin diubah menjadi energi panas ketika cahaya diabsorpsi oleh suatu substansi. Suhu sering berperan bersamaan dengan cahaya dan air untuk mengontrol fungsi- fungsi dari organisme.
Relatif mudah untuk mengukur suhu dalam suatu lingkungan tetapi sulit untuk menentukan suhu yang bagaimana yang berperan nyata, apakah keadaan maksimum, minimum atau keadaan harga rata- ratanya yang penting.
1. Variasi suhu
Sangat sedikit tempat- tempat di permukaan bumi secara terus- menerus berada dalam kondisi terlalu panas atau terlalu dingin untuk sistem kehidupan, suhu biasanya mempunyai variasi baik secara ruang maupun secara waktu. Variasi suhu ini berkaitan dengan garis lintang, dan sejalan dengan ini juga terjadi variasi local berdasarkan topografi dan jarak dari laut.
Terjadi juga variasi dari suhu ini dalam ekosistem, misalnya dalam hutan dan ekosistem perairan. Perbedaan yang nyata antara suhu pada permukaan kanopi hutan dengan suhu di bagian dasar hutan akan terlihat dengan jelas. Demikian juga perbedaan suhu berdasarkan kedalaman air.
Seperti halnya dengan faktor cahaya, letak dari sumber panas ( matahari ), bersama- sama dengan putarannya bumi pada porosnya akan menimbulkan variasi suhu di alam tempat tumbuhan hidup.
Jumlah panas yang diterima bumi juga berubah- ubah setiap saat tergantung pada lintasan awan, bayangan tumbuhan setiap hari, setiap tahun dan gejala geologi.
Begitu matahari terbit pagi hari, permukaan bumi mulai memperoleh lebih banyak panas dibandingkan dengan yang hilang karena radiasi panas bumi, dengan demikian suhu akan naik dengan cepat. Setelah beberapa jam tercapailah suhu yang tinggi sekitar tengah hari, setelah lewat petang mulailah terjadi penurunan suhu maka bumi ini akibat reradiasi yang lebih besar dibandingkan dengan radiasi yang diterima. Pada malam hari penurunan suhu muka bumi akan bertambah lagi, panas yang diterima melalui radiasi dari matahari tidak ada, sedangkan reradiasi berjalan terus, akibatnya ada kemungkinan suhu permukaan bumi lebih rendah dari suhu udara disekitarnya. Proses ini akan menimbulkan fluktuasi suhu seharian, dan fluktuasi suhu yang paling tinggi akan terjadi di daerah antara ombak di tepi pantai.
Berbagai karakteristika muka bumi penyebab variasi suhu :
  1. Komposisi dan warna tanah, makin terang warna tanah makin banyak panas yang dipantulkan, makin gelap warna tanah makin banyak panas yang diserap.
  2. Kegemburan dan kadar air tanah, tanah yang gembur lebih cepat memberikan respon pada pancaran panas daripada tanah yang padat, terutama erat kaitannya dengan penembusan dan kadar air tanah, makin basah tanah makin lambat suhu berubah.
  3. Kerimbunan Tumbuhan, pada situasi dimana udara mampu bergerak dengan bebas maka tidak ada perbedaan suhu antara tempat terbuka dengan tempat tertutup vegetasi. Tetapi kalau angin tidak menghembus keadaan sangat berlainan, dengan kerimbunan yang rendah mampu mereduksi pemanasan tanah oleh pemancaran sinar matahari. Ditambah lagi kelembaban udara dibawah rimbunan tumbuhan akan menambah banyaknya panas yang dipakai untuk pemanasan uap air, akibatnya akan menaikan suhu udara. Pada malam hari panas yang dipancaran kembali oleh tanah akan tertahan oleh lapisan kanopi, dengan demikian fluktuasi suhu dalam hutan sering jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan fluktuasi di tempat terbuka atau tidak bervegetasi.
  4. Iklim mikro perkotaan, perkembangan suatu kota menunjukkan adanya pengaruh terhadap iklim mikro. Asap dan gas yang terdapat di udara kota sering mereduksi radiasi. Partikel- partikel debu yang melayang di udara merupakan inti dari uap air dalam proses kondensasinya uap air inilah yang bersifat aktif dalam mengurangi pengaruh radiasi matahari tadi.
  5. Kemiringan lereng dan garis lintang, kemiringan lereng sebesar 50 dapat mereduksi suhu sebanding dengan 450 km perjalanan arah ke kutub.
Variasi suhu berdasarkan waktu/ temporal terjadi baik musiman maupun harian, kesemua variasi ini akan mempengaruhi penyebaran dan fungsi tumbuhan.
  1. Suhu dan Tumbuhan
Kehidupan di muka bumi ini berada dalam suatu bahan kisaran suhu antara 00 C sampai dengan 500 C, dalam kisaran suhu ini individu tumbuhan mempunyai suhu minimum, maksimum dan optimum yang diperlukan untuk aktifitas metabolismenya. Suhu- suhu tadi yang diperlukan organisme hidup dikenal dengan suhu kardinal.
Suhu tumbuhan biasanya kurang lebih sama dengan suhu sekitarnya karena adanya pertukaran suhu yang terus- menerus antara tumbuhan dengan udara sekitarnya.
Kisaran toleransi suhu bagi tumbuhan sangat bevariasi, untuk tanaman di tropika, semangka, tidak dapat mentoleransi suhu di bawah 150 – 180 C, sedangkan untuk biji- bijian tidak bisa hidup dengan suhu di bawah minus 20 C – minus 50 C. Sebaliknya konifer di daerah temperata masih bisa mentoleransi suhu sampai serendah minus 300 C. Tumbuhan air umumnya mempunyai kisaran toleransi suhu yang lebih sempit jika dibandingkan dengan tumbuhan di daratan.
Secara garis besar semua tumbuhan mempunyai kisaran toleransi terhadap suhu yang berbeda tergantung pada umur, keseimbangan air dan juga keadaan musim.
3. AIR
Air merupakan sumber kehidupan yang tidak dapat tergantikan oleh apa pun juga. Tanpa air seluruh organisme tidak akan dapat hidup. Bagi tumbuhan, air mempunyai peranan yang penting karena dapat melarutkan dan membawa makanan yang diperlukan bagi tumbuhan dari dalam tanah. Adanya air tergantung dari curah hujan dan curah hujan sangat tergantung dari iklim di daerah yang bersangkutan.
Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi, dengan jumlah sekitar 1.368 juta km3. Air terdapat dalam berbagai bentuk, misalnya uap air, es, cairan dan salju. Air tawar terutama terdapat di danau, sungai, air tanah (ground water) dan gunung es (glacier). Semua badan air di daratan dihubungkan dengan laut dan atmosfer melalui siklus hidrologi yang berlangsung secara kontinu (Effendi, 2003).
a. Sifat air
Menurut Benyamin Lakitan (2001) dan Hefni Effendi (2003) air memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh senyawa kimia yang lain, yaitu.
1. Berbentuk cair pada suhu ruang. Semakin besar ukuran molekul suatu senyawa maka pada suhu ruang senyawa tersebut akan cenderung berbentuk cair. Sebaliknya jika ukurannya kecil maka akan cenderung berbentuk gas.`Air yang berat molekulnya sebesar 18 gr/mol berbentuk cair dalam suhu ruang karena adanya ikatan hidrogen yang antara molekul-molekul air, sehingga tiap molekul air akan tidak mudah terlepas dan berubah bentuk menjadi gas.
2. Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang baik. Sifat ini memungkinkan air tidak menjadi panas ataupun dingin dalam seketika. Perubahan suhu yang lambat ini mencegah terjadinya stress pada makhluk hidup akibat perubahan suhu yang mendadak dan juga memelihara suhu bumi agar sesuai dengan makhuk hidup.
3. Panas laten vaporisasi dan fusi yang tinggi. Panas laten vaporisasi adalah energi yang dibutuhkan untuk menguapkan 1 gr pada suhu 20oC. Sedangkan panas laten fusi adalah energi yang dibutuhkan untuk mencairkan 1 gr es pada suhu 0oC. Besarnya energi panas laten vaporisasi adalah 586 cal dan untuk panas laten fusi adalah 80 cal. Tingginya energi yang diperlukan untuk menguapkan air ini penting artinya bagi tumbuhan dalam upaya menjaga stabilitas suhu daun melalui proses transpirasi.
4. Viskositas (hambatan untuk pengaliran) rendah. Karena ikatan-ikatan hidrogen harus diputus agar air dapat mengalir, maka ada anggapan bahwa viskositas air akan tinggi. Tapi pada kenyataannya tidaklah demikian, karena pada air dalam keadaan cair, setiap ikatan hidrogen dimiliki bersama-sama oleh dua molekul air lainnya, sehingga ikatan hidrogennya menjadi lemah dan mudah terputus. Inilah yang menyebabkan viskositas air rendah. Viskositas air yang rendah ini menyebabkan air menjadi pelarut yang baik, sifat ini memungkinkan unsur hara terlarut dapat diangkut ke seluruh jaringan tubuh makhluk hidup dan mampu mengangkut bahan-bahan toksik yang masuk dan mengeluarkannya ke luar tubuh.
5. Adanya gaya adhesi dan kohesi. Air bersifat polar sehingga gaya tarik menarik antara molekul air dengan molekul lainnya (misalnya dengan protein dan polisakarida penyusun dinding sel) akan mudah terjadi. Adhesi merupakan daya tarik menarik antara molekul air yang berbeda. Kohesi adalah daya tarik menarik antara molekul yang sama. Adanya kohesi dan adhesi ini menyebabkan air dapat diangkut ke seluruh tubuh tumbuhan melalui jaringan xilem. Selain itu juga menyebabkan adanya tegangan permukaan yang tinggi, ini memungkinkan air mampu membasahi suatu bahan secara baik.
6. Air merupakan satu-satunya senyawa yang meregang ketika membeku. Ini berarti es memiliki kerapatan atau densitas (massa/volume) yang lebih rendah dibandingkan air. Dengan demikian es akan mengapung di atas air. Sifat ini mengakibatkan air permukaan yang berada di daerah beriklim dingin hanya membeku dipermukaan saja sehingga organisme akuatik masih bisa bertahan hidup.
b. Jenis –jenis air
Secara umum air yang terdapat di bumi ini digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Air tanah (ground water), adalah air yang terdapat di bawah permukaan tanah dan tidak dapat dilihat secara langsung. Air tanah ditemukan pada lapisan akifer yaitu lapisan yang bersifat porous (mampu menahan air) dan permeable (mampu memindahkan air). Pergerakan air tanah sangat lambat, kecepatan arus berkisar antara 10-10-10-3 m/detik sehingga waktu tinggal air (residence time) berlangsung lama. Air tanah ini dibagi menjadi dua jenis yaitu air tanah preatis dan air tanah artesis. Air tanah preatis adalah air tanah yang letaknya tidak jauh dari permukaan tanah serta berada di atas lapisan kedap air/impermeable. Sedangkan air tanah artesis merupakan air tanah yang letaknya sangat jauh di dalam tanah serta berada di antara dua lapisan kedap air.
2. Air permukaan (surface water), adalah air yang terdapat di atas permukaan bumi dan tidak terinfiltrasi ke dalam bumi. Contoh air permukaan seperti laut, sungai, danau, kali, rawa, empang, dan lain sebagainya. Air permukaan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu perairan tergenang (lentik) dan perairan mengalir (lotik). Perairan tergenang meliputi danau, waduk, kolam dan rawa. Pada umumnya perairan lentik ini dicirikan dengan arus yang lambat (0,001-0,01 m/detik) sehingga waktu tinggal air (residence time) dapat berlangsung lama. Perairan mengalir salah satunya adalah sungai, sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang dengan kecepatan arus berkisar antara 0,1-1,0 m/detik.
c. Sumber air
Secara umum ada beberapa sumber air yang dapat kita gunakan secara langsung atau melalui pengolahan sederhana terlebih dahulu yaitu antara lain :
1. Air dari PDAM. Air dari PDAM adalah termasuk air yang bisa dikonsumsi secara langsung untuk kebutuhan sehari-hari: masak, mandi, mencuci; air PDAM yang akan diminum harus direbus dahulu. Namun air PDAM ini kadang belum tersedia diberbagai tempat.
2. Air hujan. Air hujan adalah air murni yang berasal dari sublimasi uap air di udara yang ketika turun melarutkan benda-benda diudara yang dapat mengotori dan mencemari air hujan seperti: gas (O2, CO2, N2, dll), jasat renik, debu, kotoran burung, dll. Air hujan yang berasal dari cucuran talang/genteng rumah di tampung dalam bak penampungan. Untuk mengindari bahan-bahan pengotor dan pencemar yang berasal dari talang/genteng dan udara caranya adalah waktu awal penampungan air hujan 15 menit setelah hujan turun. Di bawah talang diberi saringan dari ijuk/kerikil/pasir. Dan sebelum diminum air harus dimasak dahulu.
3. Mata air. Di daerah pegunungan atau perbukitan sering terdapat mata air. Air mata air berasal dari air hujan yang masuk meresap kedalam tanah dan muncul keluar tanah kembali karena kondisi batuan geologis didalam tanah. Kondisi geologis mempengaruhi kualitas air mata air, pada umumnya kualitasnya baik dan bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari, tetapi harus dimasak sebelum diminum.
4. Air tanah. Air tanah berasal dari air hujan yang meresap dan tertahan di dalam bumi. Air tanah dapat dibagi menjadi air tanah dangkal dan air tanah dalam. Bagaimana mendapatkan air tanah caranya adalah dengan mengebor atau menggali. Macam sumur untuk mendapatkan air tanah adalah:
1. Sumur gali, adalah sarana mendapatkan air tanah dengan cara menggali dan menaikkan airnya dengan ditimba.
2. Sumur pompa tangan adalah sarana mendapatkan air tanah dengan cara mengebor dan menaikkan airnya dengan pompa dengan tenaga tangan.
3. Sumur pompa listrik adalah sarana mendapatkan air tanah dengan cara mengebor dan menaikkan airnya dengan dipompa dengan tenaga listrik.
5. Air permukaan. Air permukaan seperti air sungai, air rawa, air danau, air irigasi, air laut dan sebagainya adalah merupakan sumber air yang dapat dipakai sebagai bahan air bersih dan air minum tetapi perlu pengolahan. Air permukaan sifatnya sangat mudah terkotori dan tercemar oleh bahan pengotor dan pencemar yang mengapung, melayang, mengendap dan melarut di air permukaan. Karena sifatnya yang demikian maka sebelum diminum air permukaan perlu diolah terlebih dahulu sampai benar-benar aman dan memenuhi syarat sebagai air bersih atau air minum.
d. Siklus air (water cycle)
Karakteristik air dalam proses siklusnya secara fisik memperlihatkan berbagai fase, mulai dari bentuk uap air di udara sampai air dalam tanah. Secara meteorologis, air merupakan unsur pokok paling penting dalam atmosfer bumi. Air terdapat sampai pada ketinggian 12.000 hingga 14.000 meter. Bila seluruh uap air berkondensasi (atau mengembun) menjadi cairan, maka seluruh permukaan bumi akan tertutup dengan curah hujan kira-kira sebanyak 2,5 cm. Air terdapat di atmosfer dalam tiga bentuk yaitu dalam bentuk uap yang tak kasat mata, dalam bentuk butir cairan dan hablur es. Kedua bentuk yang terakhir merupakan curahan yang kelihatan, yakni hujan, hujan es, dan salju.
Siklus air adalah mekanisme transformasi (pergerakan) air yang selalu terjadi setiap saat. Dalam proses transformasi biasanya desertai dengan perubahan wujud, sifat dan mutu ataupun air tetap dalam kondisi awal (Tersiawan, 2005). Secara garis besar transformasi itu dapat berupa evaporasi, transpirasi, kondensasi, presipitasi dan perkolasi.
Ketika terjadi hujan, airnya akan turun ke permukaan bumi. Air ini sebagian akan mengalir ke permukaan bumi menuju ke daerah yang lebih rendah dan bermuara di laut atau di danau. Sebagian lagi akan terserap oleh bumi dan mengalir di dalam tanah atau tersimpan di dalam tanah sebagai air tanah.
Siklus air ini digerakkan oleh matahari. Panas yang dipancarkan oleh matahari akan membuat air laut, air permukaan dan daratan menguap, bahkan air dari makhluk hidup pun ikut mengalaminya (evaporasi dan transpirasi). Ketika uap air mendingin dan menjadi mampat terbentuklah awan yang kemudian digerakkan oleh angin.
Angin ini akan membawa gumpalan-gumpalan awan ke daerah yang memiliki tekanan temperatur yang lebih rendah. Jika awan yang dibawa oleh angin ini melalui daerah pegunungan, maka gerakannya akan terhalang dan didorong untuk naik lebih tinggi lagi. Karena temperatur akan semakin rendah apabila semakin tinggi dari permukaan laut, maka awan yang mengandung uap air tadi mencapai titik embunnya dan terbentuklah butiran-butiran air yang kemudian jatuh kembali ke bumi sebagai air hujan (presipitasi).
Air hujan ini akan mengalir lagi di permukaan bumi, ke daerah yang lebih rendah, dan sebagian diserap oleh bumi (perkolasi). Kemudian terus menuju ke laut atau ke danau dan apabila terkena sinar matahari akan menguap ke udara dan membentuk awan. Awan akan berkumpul dan kemudian dibawa oleh angin dan mengembun dan berubah menjadi hujan. Begitulah seterusnya siklus dari air yang berulang secara bergantian.