Dampak Perubahan Iklim Terhadap Perikanan
Perubahan iklim dapat mengubah rantai makanan laut secara keseluruhan dan sumberdaya perikanan khususnya. Berubahnya rantai makanan akan memberikan perubahan struktur populasi perikanan yang tidak dikehendaki. Fenomena ini sudah banyak teramati di Indonesia, antara lain ditandai dengan bergesernya musim ikan, dan berubahnya fishing ground kelompok ikan jenis tertentu.
Skenario yang tidak menyenangkan ini tidak hanya terbatas pada perikanan tangkap, tapi juga terhadap perikanan budidaya antara lain melalui pengaruh berbahaya kualitas air, peningkatan penyakit pest dan penyakit-penyakit lainnya. Bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, skenario ini akan lebih mengkhawatirkan. Peningkatan muka laut terjadi bersamaan dengan peningkatan frekuensi bencana yang berisiko hilangnya pemukiman. Bagi kita di Indonesia, skenario ini akan sangat tidak menyenangkan mengingat jutaan penduduk tinggal di kawasan yang rawan tersebut.
Sebagaimana kita ketahui, lebih dari 60 persen populasi Indonesia tinggal di sepanjang garis pantai, membentang lebih dari 95 ribu km, maka bukan saja pemukiman yang akan hilang namun juga mata pencaharian dan sangat mungkin rusaknya struktur dan tatanan sosial yang telah terbentuk selama berabad-abad di komunitas pesisir.
Sumberdaya laut kita berada pada situasi yang kritis dan terancam. Di beberapa wilayah dunia, perubahan iklim telah mempercepat kehancuran tersebut. Banyak kekhawatiran bahwa proses yang menyebabkan perubahan iklim tersebut adalah di luar kendali sehingga mengakibatkan penurunan sumberdaya dan meningkatkan kompetisi dari sumberdaya yang tertinggal.
Dari sudut pandang teknis, banyak solusi-solusi potensial yang mudah atau setidaknya mungkin untuk dilakukan dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi yang ada sekarang. Untuk dampak yang tidak dapat dihindarkan, ada banyak strategi adaptasi dan mitigasi yang dapat dilakukan. Bagaimanapun, lebih banyak penelitian baik penelitian dasar maupun terapan yang masih dibutuhkan, khususnya yang terkait dengan peran dan dampak lingkungan laut yang masih sedikit dimengerti dibandingkan dengan fenomena atmosfir daratan. Pengukuran adaptasi dan mitigasi sangat penting dilakukan tidak hanya untuk menyelamatkan sumberdaya laut dan pesisir tapi juga untuk menyelamatkan masyarakat pesisir.
Perubahan pola dan distribusi hujan
Pola dan distribusi curah hujan terjadi dengan kecenderungan bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin basah. Konsekuensi-nya adalah bahwa kelestarian sumberdaya air juga akan terganggu. Di Indonesia dikenal 3 macam pola distribusi hujan, yaitu pola monsun (monsoonal), ekuatorial dan lokal. Pertama, daerah yang sangat dipengaruhi oleh monsun memiliki pola hujan dengan satu pucak (unimodal). Ciri dari pola ini adalah adanya musim hujan dan kemarau yang tajam dan masing-masing berlangsung selama kurang lebih 6 bulan, yaitu Oktober - Maret sebagai musim hujan dan April – September sebagai musim kemarau. Kedua, daerah yang dekat dengan ekuator dipengaruhi oleh sistem ekuator dengan pola hujan yang memiliki dua puncak (bimodal), yaitu pada bulan Maret dan Oktober saat matahari berada di dekat ekuator. Ketiga, daerah dengan pola hujan lokal, dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal dengan puncak yang terbalik dibandingkan dengan pola hujan monsun yang disebutkan di atas.
Menurut Murdiyarso, (1994) Perubahan iklim (khususnya suhu dan curah hujan) tidak hanya menyebabkan perubahan volume defisit atau surplus air, tetapi juga periode daerah itu mengalami surplus atau defisit. Dalam suatu studi hidrologi daerah aliran sungai (DAS) di daerah ekuatorial seperti Sulawesi, perubahan iklim (dengan konsentrasi CO2 atmosfer 2 kali lipat dibanding http://climatechange.menlh.go.id - Climate Change - Indonesia Powered by Mambo Open Source Generated: 1 November, 2009, 22:41 konsentrasi pada zaman pra-industri yang hanya 280 ppm) akan menyebabkan DAS tersebut tidak mengalami defisit sementara surplusnya meningkat dua kali lipat. Sedang DAS di daerah monsun seperti Jawa, surplus air hanya sekitar 30% dengan periode defisit yang lebih pendek dibanding jika iklim tidak berubah.
Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya. Mars, Venus, dan benda langit beratmosfer lainnya (seperti satelit alami Saturnus, Titan) memiliki efek rumah kaca, tapi artikel ini hanya membahas pengaruh di Bumi. Efek rumah kaca untuk masing-masing benda langit tadi akan dibahas di masing-masing artikel.
Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktivitas manusia (lihat juga pemanasan global). Yang belakang diterima oleh semua; yang pertama diterima kebanyakan oleh ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat.
Penyebab
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya. Energi yang masuk ke bumi mengalami : 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer 25% diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi.
Energi yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda. Selain gas CO, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida , nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana dan khloro fluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.
Uap air (H2O) pun sebenarnya merupakan GRK yang dapat dirasakan pengaruhnya ketika menjelang turun hujan. Udara terasa panas karena radiasi gelombang-panjang tertahan uap air atau mendung yang menggantung di atmosfer. Namun demikian karena keberadaan (life time) H2O sangat singkat (2-3 hari), maka uap air bukanlah GRK yang efektif. Sementara itu untuk CO2, CH4, dan N2O keberadaannya di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15, dan 115 tahun.
Akibat
Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5 °C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 °C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.
Sebagai konsekuensinya kejadian banjir akan meningkat karena menurunnya daya tampung sungai akibat peningkatan limpasan permukaan dan menurunnya daya tampung sungai dan waduk akibat peningkatan erosi dan sedimentasi.
Secara global catatan bencana banjir menunjukkan peningkatan yang signifikan selama 40 tahun terakhir dengan kerugian ekonomis ditaksir sekitar US$ 300 milyar pada dekade terakhir dibanding hanya US$ 50 milyar pada dekade tahun 1960-an. Kawasan pesisir merupakan daerah yang paling rentan dari akibat kenaikan muka-laut. Dalam 100 tahun terakhir, mukalaut telah naik antara 10-25 cm. Meskipun kenyataannya sangat sulit mengukur perubahan muka-laut, tetapi perubahan tersebut dapat dihubungkan dengan peningkatan suhu yang selama ini terjadi. Dalam 100 tahun perubahan suhu telah meningkatkan pemuaian volume air laut dan meningkatkan ketinggiannya. Demikian juga penambahan volume air laut juga terjadi akibat melelehnya gletser dan es di kedua kutub bumi. Dari berbagai skenario, peningkatan tersebut berkisar antara 13 hingga 94 cm dalam 100 tahun mendatang.
Kenaikan permukaan laut yang membawa dampak luas bagi manusia; terutama bagi penduduk yang tinggal di dataran rendah, di daerah pantai yang padat penduduk di banyak negara dan di delta-delta sungai. perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan arah angin dengan ekstrem. Apabila perubahan arah angin itu disertai kenaikan permukaan paras air laut, akan terjadi gelombang pasang. Akibatnya, nelayan tidak bisa melaut. Kalaupun nelayan memaksakan pergi, risikonya demikian besar. Selain belum tentu mendapatkan ikan, nyawa menjadi taruhannya.
Naiknya temperatur laut juga bisa menyebabkan terumbu karang mengalami pemutihan, lalu mati. Pemutihan karang ditandai dengan hilangnya alga yang bersimbiosis dengan karang sehingga ikan-ikan yang hidupnya bergantung pada ekosistem terumbu karang akan bermigrasi.
Selain itu, meningkatnya suhu permukaan air laut menyebabkan beberapa jenis ikan akan beradaptasi dengan mengubah kelaminnya menjadi jantan. Akibatnya, suatu kawasan tertentu akan didominasi ikan berjenis kelamin jantan. Hal itu tentu saja bisa mengancam perkembangbiakan ikan. ”Para prinsipnya perubahan iklim akan menyebabkan biota laut yang sensitif terancam punah, sedangkan biota yang adaptif akan mempertahankan hidupnya dengan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Earth Radiation Budget,
Fleagle, RG and Businger, JA: An introduction to atmospheric physics, 2nd edition, 1980
Fraser, Alistair B., Bad Greenhouse,
Giacomelli, Gene A. and William J. Roberts1, Greenhouse Covering Systems, Rutgers University,
Henderson-Sellers, A and McGuffie, K: A climate modelling primer (quote: Greenhouse effect: the effect of the atmosphere in re-readiating longwave radiation back to the surface of the Earth. It has nothing to do with glasshouses, which trap warm air at the surface).
Idso, S.B.: Carbon Dioxide: friend or foe, 1982 (quote: ...the phraseology is somewhat in appropriate, since CO2 does not warm the planet in a manner analogous to the way in which a greenhouse keeps its interior warm).
Kiehl, J.T., and Trenberth, K. (1997). Earth's annual mean global energy budget, Bulletin of the American Meteorological Society 78 (2), 197–208.
Piexoto, JP and Oort, AH: Physics of Climate, American Institute of Physics, 1992 (quote: ...the name water vapor-greenhouse effect is actually a misnomer since heating in the usual greenhouse is due to the reduction of convection)
Wood, R.W. (1909). Note on the Theory of the Greenhouse, Philosophical Magazine 17, p319–320.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar