Tanpa mengabaikan segala kebaikan pemerintah sekarang, kita harus mengakui bahwa kita menemukan kesulitan, yakni kita kehilangan orientasi pada nilai-nilai universalitas. Misalnya kebebasan hak asasi, dan nilai-nilai yang mestinya sudah kita serap dengan baik setelah sekian lama merdeka, namun tercecer. Demikian juga conflict of interest yang tak ada di dalam nativisme. Di samping kurangnya kesadaran bahwa mengorbankan untuk kepentingan keluarga di atas kepentingan nasional adalah tindakan yang tak sesuai dengan etika demokrasi modern.
Natsir melihat agama dengan total yang menunjukkan ketulusannya. Tetapi ada sedikit perbedaan dengan saya ketika Natsir mengatakan bahwa agama adalah ideologi. Menurut saya, agama adalah sesuatu yang lebih tinggi dari ideologi, tetapi bisa menjadi sumber ideologi. Bahkan harus menjadi sumber ideologi bagi pemeluk agama. Tetapi agama sendiri tidak boleh didegradasi sebagai ideologi. Memang ini masalah rumusan apa yang dimaksud ideologi. Karena itu, seorang Muslim harus berideologi berdasarkan Islam. Tetapi bukan Islam itu yang ideologi. Karena di sini ada masalah interpretasi, maka dalam ruang lingkup Islam yang besar, masih ada kemungkinan timbulnya berbagai ideologi. Bahkan, kadangkala bertentangan.
Pemahaman Islam seseorang, diwarnai situasi konkret pengalamannya dalam konteks sosial dan ekonomi. Meskipun secara sosial mungkin dibenarkan menurut kenyataannya. Sebab sebetulnya pemahaman kita tentang agama didikte oleh masyarakat. Justru karena itu kita harus mampu mengangkat diri kita di atas situasi. Oleh sebab itu, jangan sampai karena kita merasa beruntung, maka agama kita adalah jenis agama yang mendukung keberuntungan kita. Sebab kenyataannya, sepanjang sejarah memang begitu. Lihat saja paham Jabariah yang didukung habis-habisan oleh rezim Bani Umayah, karena Jabariah menolelir kekuasaan rezim Umayah. Menjawab oposisi Hasan al-Bisri, Umayyah mengatakan, “Apa pun yang kami lakukan adalah atas kehendak Tuhan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar